Siaran Pers

Pers Rilis terkait Tanah Runtuh

Pers Rilis terkait Tanah Runtuh 

Hasil Investigasi Komnas terkait video kekerasan dalam penanganan Terorisme di Poso


LATAR BELAKANG
Pada akhir Februari 2013 Komnas HAM telah mendapatkan beberapa rekaman video kekerasan dan penganiayaan yang diduga oleh aparat, khususnya Densus 88 yang diduga di luar prosedur dan berpotensi menimbulkan kemarahan masyarakat. Oleh sebab itu Komnas HAM lalu menyampaikan temuan ini kepada pihak Polri untuk segera ditindaklanjuti.

Kekhawatiran adanya reaksi masyarakat atas tindakan yang berlebihan tersebut, ternyata juga ditanggapi serius oleh berbagai beberapa tokoh agama sebagaimana yang diberitakan berbagai media massa, baik cetak dan elektronik.

Bahkan sebelum Komnas HAM melakukan verifikasi atas rekaman tersebut,  para tokoh agama tersebut telah melakukan pertemuan dengan Mabes Polri untuk menyampaikan rekaman yang secara substansi sama. Diperoleh data ternyata video tersebut telah diupload ke youtube sejak awal Januari 2013.

Bahwa kemudian adanya bantahan dari pihak Kepolisian yang menyatakan bahwa video itu rekayasa dan tidak ada anggota Densus 88 yang diduga terlibat, serta belum nampaknya perubahan dalam pola penanganan terhadap Terduga/Tersangka tindak pidana terorisme, khususnya sejak peristiwa 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kab. Poso sebagaimana terekam dalam video tersebut, hingga saat ini.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Komnas HAM memutuskan melakukan pemantauan dan penyelidikan pada 7 – 11 Maret 2013 guna memastikan bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan mendesak ada pertanggungjawaban oleh Kepolisian RI. Pemantauan tersebut sebagai implementasi dari pembentukan Tim Pemantauan dan Penyelidikan terkait Tindak PidanaTerorisme oleh Komnas HAM .

HASIL PENYELIDIKAN:
Setelah melakukan pemantauan dan penyelidikan melalui wawancara dengan para saksi serta  tinjauan langsung ke lapangan diperoleh fakta bahwa, peristiwa yang terekam dalam video kekerasan yang dilakukan Densus 88 adalah benar-benar terjadi pada 22 Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso. Kesimpulan ini diperoleh setelah Komnas HAM mendapatkan fakta tersebut berdasarkan pengakuan dari para korban, serta para saksi mata.  Selain itu Komnas HAM juga secara langsung melakukan rekonstruksi di titik lokasi TKP yang persis sama dengan yang terekam di video tersebut. Ini dilakukan agar diperoleh data-data akurat untuk  melengkapi serangkaian penyelidikan yang sedang dilakukan oleh secara intensif oleh Komnas HAM.

  1. Bahwa diperoleh fakta pelaku tindakan kekerasan dan penyiksaan yang ada dalam video itu terdapat beberapa anggota Densus 88 sebagaimana kesaksian para saksi mata serta  terlihat jelas,  sebagaimana terekam dalam video itu. (Lihat menit ke: 01.57; 02.01; 03.11; 03.43; 04.03; 04.49; 05.07; 07.00; 07.03; 07.34; 07.37; 07.38.; 08.33; 08.11).
  2. Pada peristiwa tersebut, 3 (tiga) orang ditembak di lokasi kejadian yaitu Sdr. Icang (meninggal dunia ditempat), Sdr. Rasiman (pada bagian kaki kanan meskipun sudah menyerah, bertelanjang dan mengangkat tangan) dan Sdr. Wiwin (pada bagian dada tembus punggung, meskipun sudah menyerah, mengangkat tangan dan sudah telanjang dada hanya menggunakan celana dalam). Meskipun sudah terluka Wiwin, masih diinterograsi bahkan dilecehkan dengan kata-kata yang bernuansa SARA. Selain itu Tugiran dan Rasiman yang juga mengalami penganiayaan. Para korban ini bahkan masih mengalami siksaan-siksaan sejak di lokasi,  dalam perjalanan hingga ketika diinterograsi di Polres.
  3. Bahwa kejadian dalam video itu merupakan salah satu peristiwa yang tidak terlepas dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya, saat terjadinya bentrok antara Polri dengan warga masyarakat  22 Oktober 2006, dipicu adanya rencana penangkapan 29 DPO di saat yang dianggap oleh masyarakat tidak tepat saatnya, yakni sehari menjelang Idul Fitri, ketika warga lebih berkonsentrasi mempersiapkan malam takbiran dan Sholat Idul Fitri esok harinya.  
  4. Setelah penetapan 29 DPO yang menyebabkan tekanan aparat kepolisian dan Densus 88 yang semakin intensif, terjadilah serangan besar-besaran oleh ratusan aparat kepolisian dan Densus 88, yang membuat mereka berusaha bertahan. Merasa terdesak akhirnya sekitar 6 (enam) orang yaitu Sdr. Tugiran, Sdr. Rasiman, Sdr. Wiwin, Sdr. Fachrudin, Sdr. Ridwan, dan Sdr. Icang berlari menuju Jl. Pembantu Gubernur dan kemudian masuk di rumah Ustadz Tarmizji dan ternyata disekitarnya telah dikepung Anggota Densus 88.. 
  5. Terhadap Sdr. Fachrudin, saat ditangkap dalam kondisi yang sehat dan tidak mengalami penembakan, namun sehari setelah ditahan di Polda Sulawesi Tengah,  Fachrudin  tewas  dengan kondisi tubuh yang memprihatinkan. Selain menewaskan 1 DPO (Icang), tewasnya 11 orang lainnya yang bukan DPO di tempat  kejadian (Firman, Nurgam alias Om Gam, Idrus, Totok, Yusuf, Muh. Syafri alias Andrias, Afrianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono, dan Ridwan Wahab alias Gunawan), serta seorang anggota Polri  (Bripka Ronny), patut disesalkan.  Terhadap peristiwa penembakan Densus 88 kepada terduga/tersangka tindak pidana terorisme orang di Tanah Runtuh yang sampai mengakibatkan meninggal dunia tanpa proses hukum diduga adanya pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana amanat Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  6. Komnas HAM mendapatkan fakta bahwa sebagian korban sebenarnya masih bernyawa dan memungkinkan bisa diselamatkan, namun sayangnya tidak ada upaya melakukan tindakan pertolongan, bahkan terkesan sengaja dibiarkan hingga akhirnya tewas. Komnas HAM mengecam tindakan kejam yang tidak manusiawi ini, yang sengaja dilakukan justru oleh aparat Kepolisian. Apalagi diperoleh fakta sebagain besar korban tewas dalam kondisi jenazah yang sangat mengenaskan.
  7. Pengerahan ratusan aparat dalam tim Gabungan Polri secara besar-besaran, termasuk melibatkan Densus 88, dalam sebuah operasi yang dilengkapi peralatan berstandar tempur, dengan tujuan menangkap 29 DPO di sebuah wilayah pemukiman padat, tindakan yang sangat berlebihan. Apalagi kemudian serangan ini membuat kepanikan warga, menyebabkan sejumlah korban luka, akibat serangan tiba-tiba dari pihak aparat,  hingga  tewasnya 13 korban jiwa yang justru bukan DPO yang dicari.  
  8. Peristiwa 22 Januari 2007 merupakan tindakan berlebihan karena justru sama sekali tidak mengindahkan rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Menko Polhukam. Dalam rekomendasinya TPF justru meminta Polri melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat Islam, sekaligus menunjukkan rasa simpati dan keprihatinan atas insiden yang menimbulkan korban di kalangan masyarakat pada peristiwa bentrok aparat dengan warga 22 Oktober 2006 yang menyebabkan tewasnya seorang warga (Syaifudin) dan melukai beberapa warga . Tim TPF juga merekomendasikan agar Polri meminta permohonan maaf kepada umat Islam di Poso yang saat itu sedang dalam suasana menghadapi Idul Fitri, khususnya kepada keluarga korban sekaligus sebagai upaya silaturahmi untuk saling memaafkan.
  9. Dalam rekomendasinya 20 Nopember TPF menyatakan bahwa yang menjadi pemicu konflik antara warga dengan aparat karena masih adanya dampak dari kasus kerusuhan SARA masa lalu yang masih menyisakan dendam di kalangan umat Islam di Poso.
 

REKOMENDASI:
  1. Komnas HAM mendesak Kapolri mempertanggungjawabkan kasus ini dan segera mengusut tuntas pelanggaran HAM serius yang dilakukan oleh para anggota Densus 88, maupun aparat lainnya yang terlibat dalam penganiayaan terhadap para korban yang sudah tidak berdaya, sebagaimana yang terekam jelas dalam video yang telah beredar, karena penyiksaan merupakan suatu pelanggaran berat terhadap hak-hak fundamental dan merendahkan martabat manusia. Komnas HAM secara serius akan membuka kembali kasus 22 Januari 2007 sebagai bagian dari proses pengumpulan data dan investigasi apabila ditemukan indikasi pelanggaran HAM Berat  sebagaimana dimaksud  dalam  UU 26 tahun 2000.
  2. Mendesak Kapolri melakukan tindakan Hukum seadil-adilnya terhadap para pelaku, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa penyiksaan yang menyebabkan tewasnya Fachrudin, salah satu korban dalam video itu, beberapa saat setelah dibawa ke Polres Poso.
  3. Mendesak Kapolri mengusut tuntas terjadinya tindakan kekerasan yang berlebihan pada peristiwa 22 januari 2007 sehingga menyebabkan 12 korban tewas yang bukan  merupakan DPO dan melakukan otopsi ulang kepada seluruh korban.
  4. Mendesak Pemerintah (LPSK) memberikan perlindungan keamanan terhadap para saksi korban pada kasus ini.
  5. Mendesak Pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan yang sangat ketat terhadap pola kerja pemberantasan terorisme, khususnya terhadap Densus 88. Karena selama ini ada indikasi tidak ada supervisi maupun evaluasi terhadap kinerja Densus 88, sehingga ada kesan tidak terkontrol.  Tindakan menembak mati terhadap terduga teroris, sebaiknya dihindari kecuali dalam kondisi benar-benar terpaksa dan harus bisa dibuktikan secara transparan dan dipertanggungjawabkan secara hukum.  Untuk itulah Komnas HAM meminta Kapolri membuka data-data terkait para terduga teroris yang meninggal dunia saat sebelum proses hukum (tewas di tembak kejadian), termasuk hasil-hasil otopsi terhadap  jenazah para terduga teroris. Hal ini perlu dilakukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri 23 tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme Bab IV ayat 3: penindakan yang menyebabkan  matinya Seseorang/Tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Lampiran: