JAKARTA - Aktivis
yang terhimpun dalam Rumah Gerakan 98 optimis di bawah komda Joko Widodo
(Jokowi), pemerintah akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc sebagai langkah
penyelesaian kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998.
"Karena
presiden saat ini tidak memiliki beban sejarah. Dan memang kita sebaiknya tidak
memilih presiden yang memiliki beban sejarah kelam," ujar Ketua Umum Rumah
Gerakan 98, Bernard AM Haloho, dalam diskusi bertajuk "Bentuk Pengadilan
HAM Ad Hoc", yang berlangsung di Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2019).
Bernard mengatakan, saat ini momentum emas bagi
pemerintah untuk menjalankan hasil penyelidikan Komnas HAM dan rekomendasi DPR
terkait kasus ini.
“Saat
pemerintahan Presiden Megawati sudah ada keinginan untuk Indonesia meratifikasi
statuta Roma terkait Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), namun di
pemerintahan SBY prosesnya berhenti,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Aktivis KBRD, Garda
Sembiring mengatakan kasus penculikan ini belum dapat dihentikan. "Status
korbannya masih hilang. Kalau dikatakan meninggal, harus ada bukti yang
mendukung hal tersebut," tegasnya.
Sementara,
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menilai isu penculikan dan
penghilangan paksa aktivis 1997/1998 merupakan isu bangsa yang menjadi beban
sejarah. "Kasus yang memiliki dukungan politik kuat saat ini adalah
penculikan aktivis," katanya.
Menurut
Beka, Kejaksaan Agung harus didorong untuk menuntaskan kasus ini karena
memiliki kewenangan memanggil paksa.
"Sampai
kapan pun, jika ini tidak dituntaskan, akan menjadi beban pemerintahan
mendatang, karena kasus ini tidak mengenal kadaluarsa. Tanpa pengadilan HAM Ad
Hoc, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 akan menjadi
beban setiap pemerintahan," pungkasnya.
(aky)
Fahreza Rizky,
Jurnalis