Jakarta, CNN Indonesia --
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara
mengatakan penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu
terkendala dalam pelimpahan berkas dari pihaknya ke Kejaksaan Agung.
Menurutnya, petunjuk dari Korps Adhyaksa tidak ada yang baru.
Hal itu dikatakannya terkait jawaban Kejaksaan Agung atas pelimpahan berkas dari Komnas HAM pada 26 Desember 2018.
"Intinya tidak ada sesuatu
yang baru mengenai status dari penyelidikan ke penyidikan. Kemudian petunjuk
juga sama, kayak copas (copy paste), terus copas, sama yang lain," jelas Beka.
Menurut Beka, jawaban dari
Kejagung itu tak berbeda dari petunjuk-petunjuk pengembalian berkas sebelumnya.
Petunjuk-petunjuk itu mencakup kurangnya bukti wawancara, kurang jelasnya
konstruksi peristiwa, dan masih kurangnya bukti-bukti.
Jawaban itu pula yang sudah lebih dulu pihaknya terima dari Kejagung pada 27 November 2018.
Berkas yang sudah bolak-balik
Komnas HAM-Kejagung itu adalah berkas kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu.
Yakni, peristiwa 1965-1966, peristiwa Talangsari, penembakan misterius,
penghilangan paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti,
Semanggi I, dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena.
Berkas pelanggaran HAM sudah
diselesaikan oleh Komnas HAM dan sudah diterima oleh Kejaksaan agung.
"Kenapa Jaksa Agung? Karena undang-undang HAM dan Pengadilan HAM memberikan kewenangan kepada Kejagung itu sebagai penyidik," kata Beka.
Lebih lanjut, Beka menceritakan
pihaknya sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Jaksa Agung Muhammad
Prasetyo serta Menteri Sekertaris Negara Pratikno pada 8 Juni 2018. Dalam
pertemuannya Presiden menanyakan rekomendasi Komnas HAM terkait kasus pelanggaran
HAM berat.
"Kami merekomendasikan dua;
[pertama] secara yudisial, Presiden harus menyelesaikan kasus-kasus ini secara
yudisial," jelas Beka.
Kemudian, rekomendasi Komnas HAM kedua adalah Presiden dapat menyelesaikan peristiwa yang masih baru terjadi. Karena bukti-bukti dan pelaku-pelaku masih dapat digali.
"Kemudian secara politik
kekuasaan juga banyak menimbulkan keguncangan politik itu akan sangat bagus
jika dijadikan kotak Pandora karena sekali kebuka akan terbuka juga kasus-kasus
yang lain jadi penyelesaiannya akan sangat mudah," jelas Beka.
Sebelumnya, Jaksa Agung Mohamad Prasetyo mengaku masih kesulitan dalam menyelesaikan penanganan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pasalnya, waktu terjadinya peristiwa pelanggaran HAM sudah terlalu lama yang menyulitkan pembuktian serta ketiadaan pengadilan HAM Ad Hoc.
"Saya bisa pahami siapa pun yang menangani kasus itu akan menghadapi kesulitan dan kendala waktu terlalu lama," ujar H.M. Prasetyo seperti dikutip dari Antara, Jumat (11/1).
Karena kesulitan tersebut itulah, Presetyo mengembalikan sembilan berkas kasus pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM. Menurutnya, masih ada petunjuk yang belum dilengkapi oleh Komnas HAM.
(sas/arh)