JawaPos.com - Komnas HAM RI menemukan lima catatan penting terkait
buruknya penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) di Sulswesi Selatan (Sulsel). Sulsel mempunyai
tingkat kerawanan tinggi saat Pemilu 2019.
"Sulsel menjadi salah satu
daerah yang kami pantau karena masuk dalam daerah yang memiliki indeks
kerawanan tertinggi menurut Polri dan Bawaslu RI. Kami memiliki catatan
beberapa kasus terkait HAM yang sedang diselidiki dan dipantau," terang
Komisoner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara dalam kunjungannya ke Makassar,
Jumat (22/3).
Merujuk dalam peraturan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disusul Undang-undang Nomor 40
Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Komnas HAM
melaksanakan mandat dengan pembentukan tim pemantau jelang pelaksanaan Pemilu
2019. Sepanjang proses penyelidikan, persoalan nyata yang terjadi di Sulsel
terdapat pada aspek pemenuhan hak pilih bagi mayoritas masyarakat.
Temuan pertama soal pendataan
pemilih. Di Sulsel, terdapat banyak warga yang memenuhi syarat untuk memilih.
Namun hak pilihnya terancam ketika diperhadapkan dengan persoalan
administratif.
"Misalnya belum memiliki KTP
elektronik atau belum merekam. Akibatnya sampai menjelang tahap pemilihan
persoalan tersebut belum tuntas. Persoalan itu masih menjadi sorotan utama di
setiap pertemuan yang kami lakukan," tutur Beka.
Kedua adalah pengabaian terhadap
hak konstitusional Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di seluruh Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) yang ada di Sulsel. Catatan
Komnas HAM, jumlah WBP di Sulsel mencapai 10.634 orang. Namun hanya 5.961 WBP
saja yang namanya masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Contohnya di Rutan
Kabupaten Pangkep. Jumlah WBP sebanyak 383 orang, yang masuk dalam DPTS 207
orang. Namun setelah masuk dalam DPT, hanya tinggal 41 orang saja WBP,"
ucap Beka.
Ketiga adalah hak masyarakat Adat
Kajang di Kabupaten Bulukumba. Sama halnya dengan masyarakat adat lain di
Indonesia, masyarakat Adat Kajang tidak mendapatkan akses memilih karena tidak
mempunyai e-KTP. Celakanya, KPUD setempat tidak punya jalan keluar menyikapi
polemik tersebut. Persoalan mendasar yang ditemukan Komnas HAM adalah penolakan
masyarakat adat terhadap foto diri yang mengharuskan mereka melepas ikat
kepalanya.
"KPUD tidak melalukan upaya
terkait adanya pertentangan syarat foto tanpa ikat kepala dalam pembuatan e-KTP
dengan hak masyarakat adat untuk tidak melepas ikat kepala," terangnya.
Keempat, menyoal hak bagi para
pemilih disabilitas. Sejauh ini, Komnas HAM tidak menemukan upaya nyata dari
penyelenggara pemilu untuk melalukan sosialisasi maksimal terhadap difabel.
"Tidak adanya kampanye dan
sosialisasi khusus secara langsung. Bukan hanya organisasi pemerhati. Ratusan
pasien Rumah Sakit Kejiwaan Daerah (RSKD) Dadi Makassar di DPT dan akses atau
fasilitas memilih belum ramah terhadap hak-hak difabel," ungkapnya.
Terakhir adalah hak masyarakat
penyandang kusta. Beka menyatakan, tidak ada jaminan hak pilih dari
penyelenggara dalam bersosialisasi. Padahal berangkat dari data Pilgub 2018
lalu, masyarakat kusta adalah pemegang hak suara terbanyak. Jika terus
dibiarkan tanpa ditindaklanjuti, kondisi ini memungkinkan politik uang bisa
terjadi.
"Bagaimanapun negara,
melalui penyelenggara, harus menyediakan hak informasi dan hak mendapatkan
pendidikan politik yang setara untuk seluruh warga negara," imbuhnya.
Editor : Dida Tenola
Reporter : Sahrul Ramadan