Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
menolak kebijakan pemerintah yang akan menempatkan perwira TNI aktif di jabatan
sipil. Menurutnya hal itu sama saja melanggar komitmen bangsa dan negara untuk
menjaga supremasi sipil, serta mendorong TNI supaya lebih profesional.
JAKARTA - Isu dwi fungsi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) kembali disorot setelah sejumlah perwira TNI yang
masih aktif kini menempati jabatan di lembaga-lembaga sipil, seperti Letnan
Jenderal Doni Monardo yang ditunjuk menjadi Ketua Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB).
Kalangan masyarakat sipil
menuding kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo tersebut sebagai upaya
untuk menghidupkan kembali dwi fungsi TNI dan ini melanggar ccita-cita
reformasi.
Dalam diskusi bertajuk “Quo Vadis Reformasi, Kembalinya Militer dalam Urusan Sipil” di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Jumat (1/3), Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menegaskan lembaganya tidak sepakat dengan langkah pemerintah itu. Menurutnya kebijakan yang menempatkan perwira TNI aktif di jabatan sipil sama saja melanggar komitmen bangsa dan negara untuk menjaga supremasi sipil, serta mendorong TNI supaya lebih profesional.
Anam mengatakan melihat kondisi
saat ini artinya peta jalan tentang reformasi TNI itu tidak ada atau tidak
berjalan. Yang terjadi justru TNI lebih mengedepankan pragmatisme. Karena itu
tidak mengherankan kalau TNI sudah menandatangani 30-an nota kesepahaman dengan
kementerian atau lembaga untuk pelibatan TNI dalam urusan sipil.
Sementara ketika diminta datang
untuk memberi kesaksian saat Komnas HAM mengusut suatu kejadian yang menimpa
masyarakat sipil, sebagian besar perwira TNI menolak datang. Ini juga
menunjukkan gagalnya reformasi di tubuh TNI, tegas Anam.
“Roadmap yang tidak jelas ini tercermin dalam konteks reformasi peradilan militer. Sampai saat ini wacana reformasi peradilan militer nggak jelas arahnya kemana. Ini juga totokritik terhadap otoritas sipil karena yang membuat undang-undang soal peradilan militer bukan tentara, tapi tritas politik sipil. Jadi supremasi sipil ini juga gagal untuk mendorong bagaimana agenda-agenda penting dan strategis dalam pertahanan negara tidak berhasil," kata Anam.
Presiden Jokowi Dinilai Harus
Lebih Tegas Sikapi Wacana TNI Masuk Institusi Sipil
Peneliti di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris juga sependapat. Menurutnya,
Presiden Joko Widodo harus lebih tegas menolak wacana masuknya TNI ke institusi
sipil.
Ia mengakui bahwa sejak awal
kekuatan politik sipil memang tidak memiliki visi, agenda, dan skema yang jelas
tentang bagaimana seharusnya posisi militer dalam sistem demokrasi pasca
tumbangnya rejim Orde Baru.
Lebih lanjut Syamsudin
mengungkapkan partai-partai politik di Dewan perwakilan Rakyat hasil Pemilihan
Umum 1999 dan pemilihan-pemilihan umum berikutnya juga sama; tidak memiliki
visi, agenda, dan skema yang jelas tentang bagaimana posisi militer
paca-Soeharto.
Oleh karena itu reformasi sektor
keamanan lebih merupakan agenda berbagai elemen masyarakat sipil ketimbang
agenda otoritas politik resmi hasil pemilihan umum yang demokratis.
Syamsudin menduga pola
kompromistis dalam hubungan antara sipil dan militer telah membuka peluang
munculnya wacana mengenai penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil.
"Presiden Jokowi sebagai
pemegang otoritas sipil yang dihasilkan oleh pemilu, mestinya bisa lebih tegas
menolak wacana penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil. Sebab ini pada
dasarnya bukan tidak sesuai dengan keniscayaan supremasi sipil dalam sistem
demokrasi, tapi juga mengkhianati agenda reformasi kita," ujar Syamsudin.
TNI Punya Kapasitas Lain Yang Tak
Kalah Penting, Selain Masuk Institusi Sipil
Direktur Eksekutif Imparsial Al
A'raf menegaskan di negara manapun militer direkrut, dilatih, dan dipersiapkan
untuk berperang. Karena itu, lanjutnya, negara wajib memenuhi semua aspek dalam
membangun kekuatan untuk kesiapan TNI untuk menghadapi perang. Konsekuensinya,
menurut Al A'raf, anggaran negara dialokasikan untuk memodernisasi alat utama
sistem pertahanan.
Selain itu, pelatihan dan
pendidikan di dalam TNI bertujuan membangun profesionalisme. Untuk itu TNI
tidak boleh berpolitik dan berbisnis. Otoritas sipil perlu memastikan
kesejahteraan prajurit TNI.
Al A'raf menyayangkan TNI sekarang
masuk lebih jauh ke urusan sipil yang bukan menjadi tugas utamanya. Dia
mencontohkan nota kesepahaman antara TNI dengan Kementerian Pertanian untuk
program cetak sawah.
"Karena sesungguhnya operasi
militer selain perang itu harus ada batasan. Meski batasan itu sudah diatur di
dalam Pasal 7 ayat 3 (Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI), yakni
harus atas keputusan politik negara, tapi juga harus dilihat kapankah hal itu
dilakukan? Selain atas dasar keputusan politik negara, dia juga dilakukan jika
kapasitas sipil tidak mampu untuk mengatasi situasi dan kondisi ancaman yang
terjadi," tutur Al A'raf.
Pelibatan TNI dalam mengevakuasi
korban tsunami di Aceh pada Desember 2004 masih dapat dimaklumi, tetapi dalam
program cetak sawah, kapasitas sipil masih mampu melakukan dan Indonesia bukan
sedang dalam krisis pangan seperti yang terjadi di sejumlah negara Afrika, ujar
Al A'raf.
Jokowi Umumkan 60 Pos Jabatan
Baru Untuk Perwira Tinggi TNI, Kontroversi Merebak
Isu TNI masuk lembaga sipil dan
menjadi dwi fungsi kembali merebak setelah Presiden Jokowi mengumumkan akan
menambah 60 pos jabatan baru untuk perwira tinggi TNI, meskipun dibantah oleh
Wakil Presiden Jusuf Kalla.
TNI berencana menambah pos
jabatan baru bagi jabatan perwira tinggi di lingkup internal serta di
kementerian dan lembaga. Jabatan baru ini salah satunya bertujuan menampung
perwira tinggi yang bertumpuk di TNI.
Salah satu usulan adalah
restrukturisasi dan merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan revisi UU TNI dianggap perlu
karena ratusan perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan struktural.
Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 47 ayat 1 menyatakan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sementara dalam ayat 2 disebutkan
prajurit aktif dapat menempati jabatan pada kantor yang membidangi koordinator
bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer
presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan
Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, narkotik nasional, dan MA.
Menhan Bantah Bangkitnya Kembali
“Dwifungsi”
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu membantah bangkitnya kembali konsep dwifungsi ABRI terkait wacana personil TNI aktif diberi lampu hijau untuk menempati jabatan di kementerian atau lembaga negara. Menurut Ryamizard, dwifungsi ABRI sudah selesai. Meski merespon soal kehawatiran tersebut, Ryamizard menjelaskan, kementerian atau lembaga memiliki hak untuk menerima atau menolak masuknya personel TNI tersebut.
[fw/em]
Fathiyah Wardah
https://www.voaindonesia.com/a/komnas-ham-tolak-tni-isi-jabatan-sipil/4809537.html