Banyuwangi - Komnas HAM mencatat masih
banyak sengketa lahan di Indonesia. Secara nasional pengaduan terkait sengketa
tanah yang masuk ke Komnas HAM ada 700-800 aduan selama 1 tahun.
Dari jumlah itu setiap tahun
terselesaikan sekitar 200-300 aduan. Data pengaduan yang masuk ke Komnas HAM,
sengketa tanah paling banyak di wilayah Sumatera Utara.
"Konfliknya rata-rata terjadi antara petani dengan perkebunan karena berkaitan dengan tanah perkebunan," ujar Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara saat menghadiri deklarasi Serikat Tani Banyuwangi, Selasa (5/3/2019).
Kasus tanah, lanjutnya, tidak
bisa selesai dengan cepat. Bahkan cenderung butuh waktu agak lama. Ini
disebabkan sejarah tanahnya, karena administrasi pertanahannya, dan karena para
pihak tidak menemukan solusi yang paling pas.
"Terbitnya Perpres nomor 86
tahun 2018 tentang Reforma Agraria menjadi pintu masuk untuk penyelesaian sengketa
pertanahan," tegasnya.
Namun menurutnya, keberadaan
perpres ini tidak serta merta memberikan peran yang signifikan untuk
penyelesaian sengketa agraria. "Ini tergantung pada aparat di
daerahnya," tegasnya.
Sebab menurutnya, konflik agraria
tidak tunggal bentuknya. Ada yang dengan aparat, perkebunan, Bumn dan
sebagainya. Untuk itu dari kaca mata Komnas HAM membutuhkan keberanian dari
Pemda untuk bisa menjalankan program itu. Selain itu, kata dia, masyarakat
sebagai obyek juga harus bersedia berpartisipsi.
Pihaknya memberikan apresiasi apa
yang telah dikerjakan Presiden dengan menerbitkan Perpres tentang reforma
agraria. Dia berharap, reforma agraria ini tidak sekedar bagi-bagi tanah saja.
"Tapi kedepannya bagaimana
kebijakan sektor agraria ini lebih holistik sehingga tidak menimbulkan konflik
baru," pungkasnya.
(fat/fat)
Ardian Fanani