tirto.id - Langkah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melarang perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dinilai tidak melanggar HAM oleh Komnas HAM.
"Masyarakat Sumbar punya adat yang tidak bisa
dipisahkan dari Islam. Ini sudah ada sejak dulu. Kalau masyarakat dan
pemerintah di sini [Sumbar] membuat aturan melarang perilaku LGBT karena tidak
sesuai dengan norma adat, bukan hal yang salah atau melanggar HAM," kata
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Padang, Kamis (15/2/2019).
Ia menyebut suatu kebijakan dikatakan melanggar HAM jika
dalam pelaksanaannya melakukan kekerasan, persekusi, dan diskriminasi.
"Larang perilaku tidak masalah, tapi jangan hambat hak
dasarnya, seperti memperoleh pendidikan, kesehatan. Yang patut diketahui juga,
hak asasi itu tidak bersifat absolut," ujarnya.
Ia mencontohkan ketika seseorang melaksanakan haknya, tapi
mengganggu hak orang lain, bisa dituntut. "Demonstrasi adalah hak, tapi
kalau demo sampai merusak properti, berarti bisa dituntut pidana,"
katanya.
Begitu pula terkait penerapan penggunaan jilbab bagi siswi
di Sumbar, bukan suatu pelanggaran. Sebab hal ini merupakan edukasi, menata
ketahanan individu masyarakat supaya tetap dalam norma yang diyakini warga
Minangkabau.
"Katakanlah kalau saya mengedukasi anak saya supaya
beragama, di mana salahnya. Berbeda kalau saya pukul anak saya karena anak saya
tidak pakai jilbab, itu yang melanggar," katanya.
Ahmad Taufan mengakui banyak aktivis di luar Sumbar yang
memaparkan pandangan bahwa yang dilakukan Pemprov Sumbar negatif.
Hal itu terjadi karena orang dari luar Sumbar belum memahami
perspektif HAM dari Minangkabau yang sesuai norma dan adat sehingga akhirnya
terjadi monopoli perspektif.
Apalagi kalau perspektif HAM internasional dipaksakan untuk
diberlakukan juga di Sumbar, katanya, hal itu tidak mungkin. Daerah di
Indonesia ini punya keberagaman. "Biarkan perspektif itu berbeda-beda,
yang penting kekerasan dan diskriminasi tidak terjadi," ujarnya.
Menurutnya, dengan kondisi saat ini, tokoh-tokoh Sumbar
harus ikut menyampaikan pendapat dan "perspektif HAM yang sesuai dengan
norma adatnya" supaya Sumbar tidak ditekan oleh satu perspektif dari luar
saja.
"Aceh tegak dengan syariatnya. Bali punya polisi adat. Itu semua disesuaikan dengan norma di daerah bersangkutan. Tokoh di Sumbar harus menyatukan perspektif untuk disampaikan secara nasional agar didengar juga oleh aktivis di Jakarta," ujar Ahmad Taufan Damanik.
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan kepada
Tirto bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bentuk persekusi terhadap
LGBT sepanjang 2018 semakin mengkhawatirkan. Pasalnya, terjadinya perubahan
tren yang dari awalnya cuma pernyataan menjadi praktek nyata berupa persekusi.
Mei lalu, LBH Masyarakat mengeluarkan Laporan tentang
“Bahaya Akut Persekusi LGBT” (PDF) berdasarkan pemantauan pada 2017.
Dalam laporan itu tertulis bentuk-bentuk diskriminasi yang
dialami oleh kelompok LGBT berupa persekusi, upaya paksa dan pemidanaan,
halangan atas akses pendidikan, pembubaran acara, dan sejumlah kekerasan lain.
“Di 2017/2018 itu menjelma menjadi praktik-praktik riil
pengusiran, persekusi, dan diskriminasi, dan wujud diskriminasinya itu juga
sekarang mewujud pada pola-pola seperti misalnya peraturan-peraturan di daerah
beberapa bulan terakhir,” ungkap Ricky.
Ricky memprediksi diskriminasi itu akan semakin terasa pada 2019 karena faktor pemilu. Bukan tak mungkin, menguatnya isu LGBT belakangan ini akan menjadi barang dagangan bagi para calon presiden dan calon legislatif.
Seperti diketahui, berbagai lembaga psikiater di
negara-negara Barat masih mengkategorikan ketertarikan sesama jenis kelamin
sebagai salah satu penyakit jiwa. Asosiasi Psikiatri Amerika (APA), misalnya,
memasukkan homoseksualitas ke Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental
(DSM) pada tahun 1968.
Momentum besar terjadi pada awal 1970-an. Pada tanggal 15
Oktober 1973 ketika College of Psychiatry Federal Council Australia dan
Selandia Baru menyatakan bahwa homoseksualitas bukan sebuah penyakit.
Kesimpulan ini adalah ujung dari riset yang telah dilakukan lama serta sebuah
terobosan penembus dinding konservatisme di kalangan para ilmuwan kejiwaan.
Deklarasi ini dicatat sebagai yang pertama di dunia, lebih khususnya di antara
lembaga psikiatri negara-negara lain.
Hasilnya, dari total 9.664 anggota APA, 5.854 setuju
mencoret homoseksualitas dari DSM, dan 3.810 ingin mempertahakannya. Artinya
APA sudah mencapai kesepakatan tidak lagi mengkategorikan homoseksualitas
sebagai penyakit kejiwaan. Namun, akibat suara anggota belum bulat sepenuhnya,
APA berkompromi dengan mengganti istilah “homoseksualitas” di dalam DSM menjadi
“gangguan orientasi seksual”.
Keputusan APA belumlah sempurna. Mereka baru benar-benar mencoret homoseksualitas dari DMS pada tahun 1987 tanpa embel-embel, keterangan khusus, atau istilah pengganti. Namun, keputusan dan sikap lembaga APA dipuji oleh para pegiat hak asasi manusia seantero AS dan dunia karena melahirkan perjuangan menuntut kesetaraan bagi kaum homoseksualitas dalam skala yang lebih masif lagi.
Sumber: Antara
Penulis: Maya Saputri
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno
https://tirto.id/komnas-ham-pemprov-sumbar-larang-lgbt-tak-langgar-ham-dg6B