Palu, Metrosulawesi.id – Ketua
Komnas HAM RI Perwakilan Sulteng Dedi Askary tidak setuju dengan skema
pencairan dana stimulan dan pelibatan lima ribu Babinsa dalam rehabilitasi dan
rekonstruksi di Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo). Menurutnya,
pelibatan ribuan Babinsa tersebut merupakan bukti nyata intervensi tak berbatas
dari pemerintah pusat.
Menurutnya, kebijakan pelibatan
lima ribu Babinsa dan menyiapkan skema pencairan dan stimulan sebagaimana yang
dikemukakan pihak Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, bukti nyata Jakarta
“mau ambil alih” semua hal khususnya terkait kegiatan atau kerja-kerja di masa
rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Ini sebuah kekonyolan yang
membuat publik geleng-geleng kepala. Pemerintah Pusat mestinya malu dengan
masyarakat korban bahkan dengan dunia internasional, mengingat respons mereka
sudah sangat kebablasan. Kenapa kami menyatakan kebablasan, ya ini menyangkut
beberapa soal, utamanya menawarkan skema yang dikemukakan di hadapan gubernur
saat rapat beberapa waktu yang lalu, tampak jelas skema pencairan dana stimulan
terhadap rumah masyarakat yang rusak, itu memperpanjang beban dan penderitaan
masyarakat korban bencana alam di Padagimo, di tengah kompleksitas masalah,
masyarakat harus disibukkan dengan segala tetebengek sebagaiman tersebut dalam
skema yg dipresentasikan oleh Kementerian Politik Hukum dan Keamanan,” tulis
Dedi Askary dalam siaran pers yang diterima Metrosulawesi, Kamis 7 Februari
2017.
Menurutnya, apa yang ditawarkan
(skema pencairan) sangat mengabaikan suara dan nurani korban. Lebih jauh semua
itu, lanjut Dedi Askary, tidak menggambarkan mekanisme partisipasi, bahkan
melecehkan budaya lokal. Dia mengatakan, dalam konteks budaya dan
adat-istiadat, masyarakat lembah ini salah satu yang mereka utamakan adalah
trust (kepercayaan), kepada siapapun mereka percaya dan selalu berbaik sangka,
sekalipun terhadap orang yang baru dikenal.
Jakarta, kata Dedi Askary harus
sadar, bahwa bencana alam yang terjadi 28 September 2018 itu tidaklah
ditetapkan sebagai bencana nasional. Karenanya, total kewenangan ada di BPBD
dan Pemerintah Daerah. Jakarta hanya pendampingan dan asistensi serta
menfasilitasi ketersediaan ahli dan fasilitasi anggaran jika pemerintah
kabupaten/ kota tidak memiliki ketersediaan anggaran yang cukup dimana
pengusulan akan kebutuhan anggaran disampaikan melalui gubernur.
“Sangat beda makna pendampingan,
asistensi dan fasilitasi dari apa yang dilakukan Jakarta sekarang ini. Ketiga,
dan ini membuat publik kaget dan tercengan, di rehab dan rekon dengan
melibatkan 5.000 orang personil Babinsa sebagai fasilitator rehab dan rekon,
apalagi hanya dibekali dengan penguatan SDM dalam mekanisme pelatihan singkat
yang rentang waktunya hanya satu hari,” ujarnya.
Dedi Askary berpendapat Padagimo,
bukan wilayah atau daerah operasi militer atau bencana sosial. Yang terjadi
adalah bencana alam. Lebih jauh, kebijakan pelibatan 5.000 Babinsa, adalah
bentuk pengabaian atas resourcis dan potensi-potensi yang ada di daerah.
Bahkan, kata dia pelibatan
tersebut “merecoki” kewenangan lintas SKPD yang oleh instrumen hukum secara
tegas menyatakan bahwa termasuk pelaksanaan rehab dan rekon leading sektornya
dilakukan oleh lintas SKPD atau OPD yang ada di daerah.
“Jikalau terus dan tetap ngotot
seperti sekarang, ya harus rubah status bencana yang ada menjadi bencana
nasional,” tegasnya.
Menurut Dedi Askary, pelibatan
ribuan Babinsa bisa jadi mempercepat proses pemulihan. Tetapi, juga bisa
menjadi sebab munculnya masalah-masalah baru.
“Dapat dipastikan akan membantu
percepatan jika pelibatan ribuan Babinsa tersebut, spesifik memback-up
kerja-kerja pembangunan perumahan serta sarana dan prasarana umum, namum
bagaimana untuk menjadi fasilitator pertemuan-pertemuan dengan korban,” katanya.
“Menjadi fasilitator pelaksanaan
kegiatan psikososial, pemulihan sosial , ekonomi dan budaya, pemulihan fungsi
pemerintahan.Yang harus diingat, mereka sebagai fasilitator, untuk kerja-kerja
yang saya sebutkan di atas butuh keahlian, metode yang tepat,” sambungnya.
Lebih jauh, kata Dedi Askary
bagaimana mungkin hal-hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Pertama,
pembekalan dalam rangka penguatan kapasitas para Babinsa calon fasilitator
tersebut hanya dilatih dengan rentang waktu sehari. Kedua, pelibatan 5.000 personil
Babinsa dapat dipastikan akan terjadi in efisiensi anggaran. Sebab, tidak
mungkin 5.000 personil tidak difasilitasi makan minumnya dikali sejumlah itu,
pasti terjadi pemborosan.
“Mestinya yang dilakukan
memaksimalkan partisipasi dan peran aktif korban dalam melakukan tahapan dan
proses membangun kembali pemukiman mereka,” jelasnya.
Ketiga, pelibatan 5.000 Babinsa
sudah pasti mengabaikan resourcis/ sumber daya dan potensi yang ada di
lingkungan korban itu sendiri. Lebih jauh jika seperti sekarang rehab-rekon
sebagaimana pada tahapan pembangunan Huntara, kembali tidak memberi dampak
peningkatan ekonomi masyarakat.
Bukan Bencana Nasional
KETUA Komnas HAM RI Perwakilan
Sulteng Dedi Askary mengingatkan bencana alam yang terjadi di Padagimo
statusnya bukan bencana nasional. Oleh karena itu, kata dia peran pemerintah
pusat, dalam hal ini lintas kementerian, serta BNPB tidak boleh terlampau jauh
lakukan intervensi ke Pemda.
“Karena bencananya tidak
ditetapkan sebagai bencana nasional, lingkup kewenangan ada di pemda provinsi
dan pemda kabupaten kota, BPBD provinsi dan BPBD kabupaten kota,” tegas Dedi
Askary.
Dia menjelaskan, fungsi pusat
dalam penanganan bencana alam di Padagimo, sebatas pendampingan, asistensi,
fasilitasi, termasik fasilitasi ahli. Itupun jika dibutuhkan daerah dan ada
usulan tertulis dari kabupaten kota melalui Pemprov untuk selanjutnya Pemprov
menindaklanjuti dalam bentuk pengajuan ke pusat.
Fungsi pusat, kata dia juga
termasuk fasilitasi anggaran jika, anggaran di kabupaten kota tidak mencukupi,
melalui pengajuan permohonan bantuan anggaran ke Pemprov untuk selanjutnya
diajukan dan ditindak lanjuti ke pusat via BNPB untuk mendapatkan dukungan
anggaran baik dari pagu anggaran siap pakai yang melekat di pagu anggaran BNPB
atau dari anggaran bersumber dari APBN yang ada di lintas kementerian atau
sumber anggaran bantuan bilateral atau sumber-sumber lainnya.
Reporter: Syamsu Rizal