PALU – Kebijakan pelibatan lima
ribu babinsa dan menyiapkan skema pencairan dana stimulan sebagaimana yang di
kemukakan pihak Kementerian Politik Hukum dan keamanan, mendapat tanggapan
serius dari Komnas HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah.
Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Sulteng Dedy Askari menyebut pelibatan lima ribu babinsa TNI serta penyiapan skema pencairan dana stimulan itu sebagai dominasi campur tangan Jakarta terkait kerja-kerja di masa rehabilitasi dan rekonstruksi di Palu, Sigi dan Donggala.
“Ini bukti nyata Jakarta
“mau ambil alih” semua hal khususnya terkait kegiatan atau kerja-kerja di masa
Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Ini sebuah kekonyolan yang membuat publik
geleng-geleng kepala,” kata Dedy Askari dalam siaran pers yang dikirim Kamis
(7/1/2018) malam.
Pemerintah pusat
kata Dedy mestinya malu dengan masyarakat korban bahkan dengan dunia
internasional, mengingat respon mereka sudah sangat kebablasan.
“Kenapa kami menyatakan
kebablasan, ya ini menyangkut beberapa soal. Nampak jelas skema pencairan dana
stimulan terhadap rumah masyarakat yang rusak, itu memperpanjang beban dan
penderitaan masyarakat korban bencana alam di Padagimo (Palu, Sigi, Donggala
dan Parimo), ditengah kompleksitas masalah, masyarakat harus disibukkan dengan
segala tetebengek sebagaimana tersebut dalam skema yang dipresentasikan oleh
Kementerian Politik Hukum dan Keamanan,” urai Dedy.
Dia menyebut apa
yang ditawarkan (skema pencairan) sangat mengabaikan suara dan nurani korban.
Semua itu juga kata Dedy tidak menggambarkan mekanisme partisipasi, bahkan
melecehkan budaya lokal.
“Jakarta harus sadar, bahwa
bencana alam yang terjadi tanggal 28 September 2018 itu tidaklah ditetapkan
sebagai bencana Nasional, karenanya total kewenangan ada di BPBD dan pemerintah
daerah, Jakarta itu hanya Pendampingan dan asistensi serta menfasilitasi
ketersediaan ahli dan fasilitasi anggaran jika Pemerintah Kabupaten/Kota tidak
memiliki ketersediaan anggaran yang cukup dimana pengusulan akan kebutuhan
anggaran disampaikan melalui gubernur, sangat beda makna pendampingan,
asistensi dan fasilitasi dari apa yang dilakukan jakarta sekarang ini,” kata
Dedy lagi.
Soal pelibatan lima ribu
babinsa TNI itu lanjutnya juga perlu dikritik karena Palu, Sigi, Donggala dan
Parimo bukan wilayah atau daerah operasi militer atau bencana sosial. Yang
terjadi adalah Bencana Alam.
“Kebijakan pelibatan lima
ribu babinsa, adalah bentuk pengabaian atas resourcis dan potensi2 yang ada di
daerah, bahkan pelibatan tersebut “merecoki” kewenangan lintas SKPD yang oleh
Instrumen hukum secara tegas menyatakan bahwa termasuk pelaksanaan Rehab dan
Rekon leading sektornya dilakukan oleh lintas SKPD atau OPD yang ada di daerah,
jikalau terus dan tetap ngotot seperti sekarang, ya harus rubah status bencana
yang ada menjadi bencana nasional,” tandasnya.(*)