PALU – Kebijakan Pemerintah Pusat yang melibatkan 5000 (lima ribu) Babinsa dalam menyiapkan skema pencairan dana stimulan di Sulteng, Sebagaimana yang di kemukakan pihak Kementerian Politik Hukum dan keamanan, adalah bukti nyata Pemerintah Pusat “mau ambil alih” semua hal.
Khususnya terkait kegiatan atau kerja-kerja di masa Rehabilitasi dan Rekonstruksi, urai Dedy Askari Ketua Komnas HAM perwakilan Sulteng, dalam relesnya Kamis malam, (7/2/2019).
Kata Dedy, ini adalah sebuah kekonyolan yang membuat publik geleng-geleng kepala. Pemerintah Pusat mestinya malu dengan masyarakat korban, bahkan dengan Dunia Internasional. Mengingat respon mereka sudah sangat kebablasan.
“Kenapa kami menyatakan kebablasan, yaa’ ini menyangkut
beberapa soal, utamanya menawarkan skema yang dikemukakan dihadapan Gubernur
saat rapat beberapa waktu yang lalu.
Nampak jelas, skema pencairan dana stimulan terhadap rumah
masyarakat yang rusak itu, memperpanjang beban dan penderitaan masyarakat
korban bencana alam di Palu, Donggala, Sigi dan Parimo (Padagimo) ditengah
kompleksitas masalah.
Karena masyarakat harus disibukkan dengan segala
‘tetebengek’ sebagaimana tersebut dalam skema yang dipresentasikan oleh
Kementerian Politik Hukum dan Keamanan,” kata Dedy.
Lebih jauh Dedy menguraikan, apa yang ditawarkan (skema
pencairan) sangatlah mengabaikan suara dan nurani korban. Semua itu tidak
menggambarkan mekanisme partisipasi. Bahkan, melecehkan budaya lokal, dalam
konteks budaya dan adat-istiadat masyarakat lembah ini.
Salah satu yang mereka utamakan adalah trus/kepercayaan,
kepada siapapun mereka percaya dan selalu berbaik sangka, sekalipun terhadap
orang yg baru dikenal.
“Olehnya TIDAK HERAN JIKA PAK GUBERNUR, MENYATAKAN KETIDAK
SEPAKATANNYA jika tidak hendak dikatakan MENOLAK SKEMA TERSEBUT”.
Patut diingat kata Dedy, selain sebagai Gubernur, Pak Longky
Djanggola adalah simbol budaya dan adat-Istiadat masyarakat Sulteng, khususnya
bagi masyarakat kaili yang bermukim di lembah Palu. Olehnya sikap tegas Pak
Gubernur tersebut, patut diapresiasi dan didukung dengan segala totalitas yang
ada.
Kedua, Kementerian pusat harus sadar, bahwa bencana alam yang terjadi tgl 28 September 2018 lalu, tidaklah ditetapkan sebagai bencana Nasional, karenanya total kewenangan ada di BPBD dan Pemerintah Daerah.
Kementrian pusat jelasnya, hanya pendampingan dan asistensi
serta menfasilitasi ketersediaan ahli dan fasilitasi anggaran, jika Pemerintah
Kabupaten/Kota tidak memiliki ketersediaan anggaran yang cukup. Dimana
pengusulan akan kebutuhan anggaran disampaikan melalui gubernur.
“Sangat beda makna pendampingan, asistensi dan fasilitasi
dari apa yang dilakukan Pusat sekarang ini.
Ketiga, dan ini membuat publik kaget dan tercengang, di
Rehab dan Rekon dengan melibatkan 5.000 orang personil Babinsa sebagai
fasilitator Rehab dan Rekon, apalagi hanya dibekali dengan penguatan SDM dalam
mekanisme pelatihan singkat yang rentang waktunya hanya satu hari.
Menurut Dedy Askari, yang terjadi di wilayah Padagimo Sulteng adalah bencana alam, bukan wilayah atau Daerah Operasi Militer atau Bencana Sosial. Jadi kebijakan pelibatan 5.000 babinsa adalah bentuk pengabaian atas resourcis dan potensi – potensi yang ada di daerah, bahkan pelibatan tersebut “merecoki” kewenangan lintas SKPD.
“Dalam Instrumen hukum secara tegas menyatakan bahwa
termasuk pelaksanaan Rehab dan Rekon leading sektornya dilakukan oleh lintas
SKPD atau OPD yang ada di Daerah. Jikalau terus dan tetap ngotot seperti
sekarang, ya harus rubah status bencana yang ada menjadi bencana Nasional,”
jelas Dedy Askari.
(reles Perw. Komnas HAM Sulteng)