JAKARTA, KOMPAS.com - Pemahaman masyarakat
terhadap Hak Asasi Manusia ( HAM) dinilai mengabaikan hak individu. Hal itu
disampaikan Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Robertus Robet
setelah melakukan survei terkait kultur HAM di Indonesia pada bulan Oktober
2018 silam.
"Kalau pakai istilah, dia (masyarakat)
memahami HAM tapi pemahaman HAM tanpa pengakuan terhadap hak-hak
individu," ujar Robertus di Kantor Amnesty Indonesia International, Gedung
HDI Hive Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/1/2019).
Dari survei tersebut, ia mencontohkan soal
aspek antara hak untuk hidup dan hukuman mati yang pada akhirnya menimbulkan
kontradiksi.
Hak untuk hidup menduduki peringkat tertinggi
dengan jumlah 43 persen yang disebutkan masyarakat sebagai bagian dari HAM.
Namun,
ketika ditanyakan apakah mereka setuju atau tidak dengan hukuman mati, sebanyak
31 persen menjawab setuju dan 31 persen lainnya menjawab agak setuju.
Sementara itu, sebanyak 25 persen menjawab
kurang setuju dengan hukuman mati dan 13 persen responden mengatakan tidak
setuju dengan jenis hukuman tersebut.
Catatan
lainnya dalam survei tersebut adalah pengaruh ideologi yang mengutamakan
kelompok atau komunalisme terhadap persepsi HAM.
Robertus mengatakan bahwa pandangan agama
menjadi yang paling berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat terhadap HAM.
"Di
Indonesia ada selapis kultur HAM tetapi pertumbuhan kultur HAM itu ditekan oleh
komunalisme yang kuat, terutama komunalisme yang berbasis agama,"
jelasnya.
"Komunalisme agama itu yang memengaruhi
cara penerimaan, sensibilitas dan modus bertindak orang Indonesia dalam
HAM," sambung dia.
Kemudian, ia mengatakan ada pula hal positif
yang terlihat dari survei tersebut yakni terkait pemberian kompensasi kepada
korban pelanggaran di Orde Baru.
Sebanyak 24 persen responden menyatakan setuju
dan 34 persen lainnya menyatakan agak setuju dengan pemberian kompensasi korban
pelanggaran HAM pada masa Orde Baru. Sementara sisanya menjawab tidak setuju.
Menurut
Robertus, dukungan masyarakat tersebut perlu dikaji lebih mendalam demi
membantu para korban.
"Ini yang perlu dikembangkan dan perlu
dikaji lebih jauh, model-model advokasinya, bagaimana strategi-strategi yang
bisa dipakai dari dukungan masyarakat itu untuk kebutuhan korban HAM di masa
lalu. Itu 1 dimensi positif yang bisa dilakukan," ujar Robertus.
Terakhir, Robertus menilai pendidikan terkait
HAM perlu diubah dengan metode terjun langsung ke lapangan agar lebih efektif.
Survei
ini dilakukan terhadap 2.040 responden di 34 provinsi di Indonesia selama bulan
Oktobet 2018.
Metode
yang digunakan adalah stratified random sampling, dengan margin of error
sebesar 2,3 persen.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Peneliti: Masyarakat Memahami HAM, Tetapi Tanpa Pengakuan Hak
Individu", https://nasional.kompas.com/read/2019/01/31/00000841/peneliti-masyarakat-memahami-ham-tetapi-tanpa-pengakuan-hak-individu.
Penulis : Devina Halim
Editor : Sabrina Asril