TRIBUNWOW.COM - Calon Wakil Presiden (cawapres) nomor urut 01 Maruf Amin
memberikan tanggapan mengenai kekecewaan para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM)
terhadap rekam jejaknya.
Dilansir oleh TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam acara Mata
Najwa, episode 'Politik Sarung Ma'ruf Amin', Rabu (30/1/2019).
Awalnya,
pembawa acara Najwa Shihab memaparkan sejumlah rekam jejak Maruf Amin.
Di antaranya
saat ia menjabat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Di mana
menerbitkan fatwa-fatwa yang disebut tidak berpihak atau intoleran pada kaum
minoritas.
Maruf Amin mengatakan
bahwa fatwa-fatwa (intoleran) itu bukanlah produk MUI.
Akan tetapi respons dari permintaan masyarakat atau mengawal hal-hal
yang bersifat aturan.
Najwa Shihab
kemudian menanyakan pada Direktur Amnesti Internasional Indonesia Usman Hamid,
soal rekam jejak Maruf Amin, terutama terkait kasus-kasus tudingan intoleran.
"Kalau
kita melihat KH Maruf Amin, yang ada di hadapan Anda saat ini, rekam jejaknya,
kalau tadi saya sudah sempat sebut berbagai fatwanya, apa persepsi yang muncul
di kalangan Anda, dan teman-teman aktivis HAM," tanya Najwa Shihab.
Usman kemudian
mengatakan bahwa para aktivis HAM banyak yang kecewa dengan Ma'ruf Amin.
"Pandangan para
aktivis HAM, atau para sarjana yang memperhatikan perlindungan minoritas di
Indonesia, memang kecewa mereka," ujar Usman.
"Dan itu
didasarkan pada sejumlah penelitian-penelitian ilmiah, termasuk misalnya yang
dilakukan oleh Setara Institute, Maarif Institute, atau Wahid Institute, yang
memperlihatkan meningkatnya angka kekerasan yang mengatasnamakan agama."
"Misalnya
serangan-serangan terhadap komunitas Ahmadiyah, Syiah, atau dalam pemerintahan
Pak Jokowi terbaru, terhadap ajaran Milah Abraham di Kalimantan,"
sambungnya.
Menurut Usman,
meningkatnya angka kekerasan pada minoritas tidak bisa dilepaskan dari adanya
fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.
"Tapi
dalam kasus ini, yang dimintai pertanggungjawaban adalah negara," ujarnya.
Najwa Shihab
lantas memotong omongan Usman dengan menanyakan kemungkinan adanya salah tafsir
fatwa.
Usman mengungkapkan, dalam kasus ini, perusakan-perusakan yang terjadi
(seperti penutupan rumah ibadah Ahmadiyah), para pelaku merujuk pada fatwa MUI.
Menanggapi hal
itu, Ma'ruf Amin menyebut bahwa fatwa adalah keputusan hukum.
"Fatwa itu
kan keputusan hukum, bahwa misalnya Ahmadiyah itu termasuk sesat katakanlah,
kemudian itu juga bukan fatwa MUI saja, fatwa berbagai berbagai majelis-majelis
fatwa di dunia," kat Ma'ruf Amin.
Menurutnya,
dari segi fatwa, tidak ada masalah.
"Karena ini sebagai
aliran sesat, kami meminta pada pemerintah, tolong ini dicegah."
"Itu
seperti yang terjadi pada Gafatar, karena itu bisa menimbulkan konflik, tapi
kita serahkan pada pemerintah, bagaimana supaya tidak timbul konflik itu,"
sambung Ma'ruf Amin.
Menanggapi hal
itu, Usman mengatakan bahwa terkait kasus Gafatar, di era Jokowi para pelaku
(Gafatar) dipenjarakan.
Akan tetapi
pelaku perusakan (terhadap kelompok Gafatar) tidak diberikan hukuman yang
memadai.
Maruf
Amin lantas mengatakan bahwa, hal itu yang bisa menjawab adalah negara.
Akan
tetapi, apabila terpilih, pihaknya sudah memiliki pedoman soal penegakan hukum
dan HAM.
Penulis: Lailatun Niqmah
Editor: Maria Novena
Cahyaning Tyas