SALAH satu pepatah lama mengatakan, persiapan yang baik adalah kunci keberhasilan, tanpa persiapan yang ada hanyalah kegagalan. Pepatah tersebut agaknya sangat tepat untuk menggambarkan kekurangan Prabowo dalam mempersiapkan diri menuju Pilpres 2019, khususnya dalam debat perdana Capres-Cawapres pada tanggal 17 Januari 2019 lalu. Dalam debat tersebut, tema yang diusung ialah HAM, hukum, demokrasi, korupsi dan terorisme. Meski keduanya telah mempersiapkan visi misinya, tampak jelas bahwa Prabowo tidak memberikan usaha yang maksimal.
Kurangnya persiapan Prabowo terlihat dalam visi misi dan gagasannya terkait HAM. Dalam dokumen visi misi dan program yang diserahkan kepada KPU, pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tidak mencantumkan gagasannya terkait permasalahan HAM. Entah karena keduanya lupa bahwa HAM adalah pilar penting dalam negara berdemokrasi atau justru mereka sengaja untuk meniadakan pembahasan HAM agar tidak ditanyakan dosa masa lalu Prabowo yang hingga kini belum ada penyelesaian yang jelas.
Oleh karenanya, kurangnya persiapan Prabowo dalam menyusun visi misi dan gagasan tentang HAM adalah sesuatu yang lumrah dan wajar. Justru, harapan masyarakat agar Prabowo dapat menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia dapat dikatakan sebagai fantasi liar yang tidak akan mungkin terjadi.
Namun, menyadari kekurangannya dalam mencantumkan visi misi dan gagasan tentang HAM, kubu Prabowo-Sandi langsung merevisi dokumen tersebut. Kondisi ini menambah bukti bahwa kubu Prabowo Sandi tidak memiliki itikad sejak awal untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia. Mungkin, mereka berpikir, jika tidak ada pembahasan HAM dalam visi misi, maka dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Prabowo pada masa lalu tidak akan diungkit-ungkit.
Dalam revisi terbarunya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memang mencantumkan sedikit tentang HAM. Namun, gagasan tersebut tidak mendalam dan hanya membahas permukaan saja. Visi misi HAM tampaknya hanya seolah formalitas bagi kubu Prabowo. Oleh karenanya, dalam acara debat pun, kubu Prabowo dan Sandi hanya menyampaikan visi misi HAM secara umum dengan retorika-retorika formalitas agar tidak menjatuhkan dirinya sendiri di depan mata masyarakat. Dugaan ini diperkuat dengan absennya pembahasan komitmen Prabowo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Agaknya, dia berpikir bahwa formalitas retorika penyampaian HAM sudah cukup untuk menghapus tuntutan masyarakat atas keadilan dalam kasus HAM. Bahkan, di akhir acara, Prabowo hanya menawarkan solusi penyelesaian kasus HAM dengan kebijakan meningkatkan gaji para aparat penegak hukum. Solusi ini sangat solutif dan tentunya tidak akan bisa menyelesaikan pelanggaran HAM.
Berbeda dengan visi misi Jokowi tentang HAM, sudah tercantum sejak awal penyerahan dokumen visi misi. Jokowi agaknya meyakini bahwa HAM adalah pilar penting yang harus dijaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, solusi Jokowi atas pelanggaran HAM pun dibuat secara konkret dan nyata tanpa ada retorika bersifat formalitas yang tidak membantu. Jokowi secara lugas mengatakan bahwa penegakan HAM paling dasar direalisasikan dengan kesejahteraan masyarakat di Indonesia mulai dari bahan pokok, infrastruktur, bahan bakar dan hajat hidup lainnya akan dijamin dan dipenuhi pemerintah.
Selain itu, Jokowi terlihat sangat tegas dan komit dalam menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu dan tidak terfokus pada isu-isu secara umum. Dengan besar hati, ia mengakui bahwa penyelesaian HAM masih ada yang belum diselesaikan akibat adanya kompleksitas kasus dan jangka waktu yang cukup lama. Namun, di balik pengakuan tersebut, ia menambahkan bahwa pihaknya akan kembali melanjutkan komitmennya seperti pada tahun 2014 untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Meski belum selesai secara menyeluruh, dapat dilihat bahwa Jokowi adalah pribadi yang konsisten atas komitmen yang telah ia bangun khususnya terkait pelanggaran HAM. Berdasarkan fakta tersebut, pilihan berada di tangan rakyat, memilih pribadi yang komitmen atau justru sosok yang penuh dengan formalitas. (*)
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung
Kurangnya persiapan Prabowo terlihat dalam visi misi dan gagasannya terkait HAM. Dalam dokumen visi misi dan program yang diserahkan kepada KPU, pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tidak mencantumkan gagasannya terkait permasalahan HAM. Entah karena keduanya lupa bahwa HAM adalah pilar penting dalam negara berdemokrasi atau justru mereka sengaja untuk meniadakan pembahasan HAM agar tidak ditanyakan dosa masa lalu Prabowo yang hingga kini belum ada penyelesaian yang jelas.
Oleh karenanya, kurangnya persiapan Prabowo dalam menyusun visi misi dan gagasan tentang HAM adalah sesuatu yang lumrah dan wajar. Justru, harapan masyarakat agar Prabowo dapat menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia dapat dikatakan sebagai fantasi liar yang tidak akan mungkin terjadi.
Namun, menyadari kekurangannya dalam mencantumkan visi misi dan gagasan tentang HAM, kubu Prabowo-Sandi langsung merevisi dokumen tersebut. Kondisi ini menambah bukti bahwa kubu Prabowo Sandi tidak memiliki itikad sejak awal untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia. Mungkin, mereka berpikir, jika tidak ada pembahasan HAM dalam visi misi, maka dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Prabowo pada masa lalu tidak akan diungkit-ungkit.
Dalam revisi terbarunya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memang mencantumkan sedikit tentang HAM. Namun, gagasan tersebut tidak mendalam dan hanya membahas permukaan saja. Visi misi HAM tampaknya hanya seolah formalitas bagi kubu Prabowo. Oleh karenanya, dalam acara debat pun, kubu Prabowo dan Sandi hanya menyampaikan visi misi HAM secara umum dengan retorika-retorika formalitas agar tidak menjatuhkan dirinya sendiri di depan mata masyarakat. Dugaan ini diperkuat dengan absennya pembahasan komitmen Prabowo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Agaknya, dia berpikir bahwa formalitas retorika penyampaian HAM sudah cukup untuk menghapus tuntutan masyarakat atas keadilan dalam kasus HAM. Bahkan, di akhir acara, Prabowo hanya menawarkan solusi penyelesaian kasus HAM dengan kebijakan meningkatkan gaji para aparat penegak hukum. Solusi ini sangat solutif dan tentunya tidak akan bisa menyelesaikan pelanggaran HAM.
Berbeda dengan visi misi Jokowi tentang HAM, sudah tercantum sejak awal penyerahan dokumen visi misi. Jokowi agaknya meyakini bahwa HAM adalah pilar penting yang harus dijaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, solusi Jokowi atas pelanggaran HAM pun dibuat secara konkret dan nyata tanpa ada retorika bersifat formalitas yang tidak membantu. Jokowi secara lugas mengatakan bahwa penegakan HAM paling dasar direalisasikan dengan kesejahteraan masyarakat di Indonesia mulai dari bahan pokok, infrastruktur, bahan bakar dan hajat hidup lainnya akan dijamin dan dipenuhi pemerintah.
Selain itu, Jokowi terlihat sangat tegas dan komit dalam menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu dan tidak terfokus pada isu-isu secara umum. Dengan besar hati, ia mengakui bahwa penyelesaian HAM masih ada yang belum diselesaikan akibat adanya kompleksitas kasus dan jangka waktu yang cukup lama. Namun, di balik pengakuan tersebut, ia menambahkan bahwa pihaknya akan kembali melanjutkan komitmennya seperti pada tahun 2014 untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Meski belum selesai secara menyeluruh, dapat dilihat bahwa Jokowi adalah pribadi yang konsisten atas komitmen yang telah ia bangun khususnya terkait pelanggaran HAM. Berdasarkan fakta tersebut, pilihan berada di tangan rakyat, memilih pribadi yang komitmen atau justru sosok yang penuh dengan formalitas. (*)
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung
(bx/adi/yes/JPR)
Oleh: Ahmad Harris* | editor : I Putu Suyatra