Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hasil perubahan telah resmi berlaku kemarin (28 November 2016). Di dalam perubahannya, salah satunya diatur tentang “right to be forgotten” di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet.
Secara lengkap, isi dari Pasal 26 adalah sebagai berikut:
1. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi
Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas
permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
2. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
Ketentuan tersebut wajib dikritisi karena setidaknya beberapa alasan. Pertama, selama ini mesin pencari (search engine) yang ada dalam internet, misalnya Google, bermanfaat untuk mencari tahu rekam jejak (track record) seseorang atau badan hukum atau entitas yang lain.
Bagi kita sebagai warga negara, informasi atas rekam jejak seseorang, khususnya pejabat publik, mantan pejabat, calon pejabat, badan publik maupun swasta, baik di dalam negeri maupun internasional, sangat penting. Hal ini di antaranya untuk mengetahui bagaimana rekam jejak yang bersangkutan dalam banyak hal, misalnya hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan korupsi.
Dengan adanya informasi itu, publik bisa mengetahui kualitas dan integritas yang bersangkutan sehingga bisa dimanfaatkan, misalnya, untuk menentukan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
Kedua, ketentuan “right to be forgotten” tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghapus informasi yang sifatnya menjadi hak publik untuk tahu, atau dengan kata lain dimanfaatkan untuk menyembunyikan informasi tentang dirinya agar rekam jejak buruknya tak bisa diakses atau tidak diketahui publik.
Dengan demikian, ketentuan tentang informasi apa yang eligible atau layak untuk dihapuskan, harus diputuskan dengan hati-hati, cermat, dan obyektif, melalui penetapan pengadilan.
Pada 2010, seorang warga negara Spanyol mengajukan gugatan terhadap media massa dan Google ke Pengadilan Spanyol. Ia menggugat karena merasa bahwa privasinya terganggu atas informasi kasus yang masih ditemukan di Google, padahal kasus itu sudah dinyatakan selesai (resolved) beberapa tahun yang lampau, sehingga informasi yang ada di Google tersebut sudah tidak relevan.
Ia lantas mengajukan permohonan supaya pengadilan meminta media massa dan Google menghapus konten informasi yang telah merugikannya itu.
Pengadilan Spanyol kemudian meminta pendapat dari Pengadilan Uni Eropa, apakah Peraturan tentang Perlindungan Data Uni Eropa 1995 berlaku untuk mesin pencari seperti Google; apakah aturan itu berlaku untuk Google Spanyol mengingat bahwa server Google berada di Amerika Serikat; dan apakah penggugat mempunyai hak untuk meminta agar data dirinya dihapuskan dari Google (right to be forgotten).
Setelah berproses selama empat tahun, Pengadilan Uni Eropa dalam putusannya pada Mei 2014 menyatakan bahwa meskipun server Google ada di AS, ia terikat pada Peraturan tentang Perlindungan Data Pribadi, karena Google mempunyai cabang di Spanyol; Google harus mematuhi aturan tersebut; dan penggugat mempunyai hak untuk dilupakan (dalam kondisi tertentu) dengan meminta Google menghapus informasi tentang dirinya.
Namun Pengadilan Uni Eropa menegaskan, ketentuan untuk menghapus informasi tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive).
Ketentuan lain yang sangat prinsipil yang ditegaskan oleh Pengadilan Uni Eropa adalah bahwa “right to be forgotten” tidak bersifat absolut atau mutlak. Akan tetapi ia harus seimbang dengan hak yang fundamental, yaitu hak atas informasi dan hak bagi media untuk berekspresi.
Dengan demikian, tidak setiap informasi yang diminta untuk dihapus bisa memenuhi kriteria right to be forgotten. Oleh karena itu, prinsip ini tidak bisa diterapkan secara umum atau digeneralisasi, namun harus melalui asesmen kasus per kasus dengan mempertimbangkan hak privasi seseorang dan hak publik untuk mengakses informasi.
Untuk konteks Indonesia, kebebasan untuk mendapatkan informasi yang
merupakan bagian dari HAM, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
tentang Keterbukaan Informasi Publik, belum diimbangi dengan adanya
Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi.
Padahal adanya undang-undang tersebut sangat penting agar ada
keseimbangan antara kebebasan di satu sisi dan perlindungan hak di sisi
lain. Adanya perubahan atas UU tentang ITE belum memadai, walaupun ada
maksud untuk membatasi distribusi informasi yang berpotensi merugikan
hak orang lain (reputasi).
Dengan pemberlakuan UU perubahan tentang UU ITE, pemerintah harus segera merumuskan ketentuan tentang “right to be forgotten” tersebut dengan penjabaran dan analisis yang hati-hati dan cermat berbasis pada prinsip dan norma HAM. Pemerintah harus melibatkan partisipasi publik dalam perumusannya agar ada proses yang transparan dan partisipatif.
Hal ini agar ketentuan tentang right to be forgotten tidak menjadi bumerang bagi hak publik untuk tahu dan hak media untuk berekspresi serta tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menyembunyikan informasi dengan motivasi menguntungkan dirinya sendiri (personal interest) dengan mengangkangi HAM.