Rekam Media

Teror UU Antiteror?

Substansi perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme berpotensi mengancam penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Perubahan atas undang-undang tersebut adalah inisiatif dari pemerintah.

Perubahan atas undang-undang anti teror memang diperlukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan terkini sehingga mampu menjawab kelemahan regulasi dan kebijakan penanggulangan teror. Namun demikian, partisipasi dan konsultasi publik secara luas harus dilalui supaya substansi undang-undang tersebut tidak bias kepentingan pemerintah semata.

Hal ini karena pasal-pasal di dalam perubahan undang-undang tersebut banyak yang berpotensi mengancam penghormatan dan perlindungan HAM, sehingga jika dipaksakan untuk disahkan, akan menghadapi banyak kendala dalam implementasinya, diantaranya digugat di Mahkamah Konstitusi.

Badan Intelejen Negara (BIN) meminta agar diberikan kewenangan untuk menangkap dan menahan terduga terorisme untuk kepentingan penggalian informasi dan pemeriksaan. Jika permintaan ini dipenuhi di dalam perubahan undang-undang, tentu akan sangat berbahaya karena melampaui kewenangan yang dimiliki oleh lembaga intelijen dan mengambil alih kewenangan kepolisian. 

Di dalam perubahan undang-undang tersebut, definisi terorisme menjadi sangat luas dan multi tafsir sehingga bisa menjadi alat untuk mengkriminalkan gerakan masyarakat yang kritis pada kebijakan pemerintah oleh karena dituduh mendorong atau memicu tindakan teror melalui berbagai media, termasuk media sosial. Di dalam setiap undang-undang, persoalan definisi sangat penting dan mendasar karena menjadi acuan bagi implementasi pasal-pasal selanjutnya.

Adanya keinginan agar kewenangan bagi aparat untuk menangkap terduga terorisme selama 30 hari dan menahannya untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan selama 300 hari, melampaui tata cara dan prosedur yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai bagian dari rezim hukum pidana (criminal justice system), maka segala tata cara dan prosedur dalam tindak pidana terorisme harus mengikuti ketentuan di dalam KUHAP. Jika tidak, akan menjadi sasaran empuk dalam sidang pra peradilan dan berpotensi terjadinya abuse of power. 

Ketentuan lain yang kontroversial adalah Pasal 43A, di mana terduga terorisme bisa dibawa ke suatu tempat yang tidak ditentukan dalam jangka waktu 6 bulan. Hal ini menjadi ancaman serius bagi perlindungan HAM khususnya hak atas keadilan dan hak untuk tidak dihilangkan secara sewenang-wenang. Berdasarkan asas due process of law, setiap terduga tindak pidana harus dipastikan kondisi (fisik dan mental) dan tempat penahanannya sehingga bisa dimonitor dan dikontrol oleh keluarga dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Indonesia selama ini dipuji oleh dunia internasional karena menerapkan kebijakan penanggulangan terorisme yang menghormati dan melindungi HAM, karena diantaranya menerapkan asas hukum pembuktian yang cukup dalam menangkap terduga teroris, tidak berdasarkan pada kecurigaan atau prasangka. Demikian juga setiap terduga teroris diadili melalui proses hukum dengan menghormati due process of law sampai ada vonis dan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Hal ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

Revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jangan menjadi langkah mundur dalam penegakan hukum dan HAM sehingga mengembalikan alam demokrasi ke masa kelam yang otoriter. Revisi yang terburu-buru dan asal jadi, akan menjadi kontraproduktif bagi upaya penanggulangan terorisme yang membutuhkan pendekatan komprehensif, bukan hanya  pendekatan penegakan hukum semata apalagi perubahan undang-undang.

Kelemahan-kelemahan kebijakan dan program penanggulangan terorisme sudah cukup banyak teridentifikasi, diantaranya adalah belum maksimalnya program pencegahan dan deradikalisasi bagi para terpidana terorisme. Lembaga pemasyarakatan belum berhasil dalam mendidik para terpidana terorisme, karena selama menjalani hukuman, mereka menjadi lebih radikal dan bisa menyebarluaskan faham radikalnya.

Untuk itu, revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan pada tingkat pencegahan dan paska penegakan hukum. Juga, diharapkan mampu menjadi payung untuk efektifitas koordinasi dan sinergitas antar lembaga negara.

Dari aspek penegakan hukum, harus ada peningkatan profesionalisme dan ketangguhan Densus 88 dalam mengidentifikasi setiap ancaman sebelum melakukan penindakan, karena tidak sedikit terjadi kasus salah tangkap dan tindakan yang berlebihan dalam tindakan eksekusi melebihi dari tingkat ancaman yang ada (excessive power). 

Perubahan undang-undang juga harus mampu mengurai akar masalah terorisme, yaitu kemiskinan, baik dari sisi sosial, ekonomi, dan pengetahuan agama, sehingga pihak pihak tertentu bisa memobilisasi dan menyebarkan doktrin-doktrin radikal yang menyesatkan pada kelompok yang rentan.

Negara, dalam hal ini pemerintah, hanyalah salah satu aktor saja. Agar penanggulangan teror menjadi maksimal, aktor-aktor lain harus diberikan ruang di dalam undang-undang untuk berpartisipasi yaitu masyarakat umum, organisasi keagamaan, pihak swasta, dan kalangan organisasi masyarakat sipil. 

Norma dan prinsip HAM yang telah diatur secara lugas di dalam Konstitusi, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan instrumen internasional, yaitu due process of law, non diskriminasi, partisipasi dan akuntabilitas,  harus menjadi landasan dan rambu-rambu dalam proses revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini agar Undang-Undang Anti Teror tidak menjadi teror bagi penghormatan dan perlindungan HAM. 

(Dimuat di Republika, 15/03/2016)