
Sehat bukan sekadar bebas dari penyakit,
tetapi juga kondisi sejahtera secara fisik, mental, dan sosial yang
memungkinkan seseorang hidup produktif. Salah satu faktor penentu kesehatan adalah
makanan. Namun, di tengah kekayaan sumber pangan lokal, mengapa tepung
terigu—produk yang tidak berasal dari budaya dan hasil bumi kita—justru menjadi
bagian tak terpisahkan dari konsumsi harian masyarakat Indonesia?
Dari Makanan Pokok ke Ketergantungan
Sebagai negara agraris, Indonesia
memiliki beragam sumber karbohidrat seperti nasi, ubi, singkong, dan sagu.
Sementara itu, negara beriklim empat musim seperti Amerika Serikat menjadikan
gandum sebagai bahan pangan utama mereka. Seiring waktu, perdagangan,
kolonialisme, dan globalisasi membawa banyak perubahan dalam pola konsumsi,
termasuk dominasi tepung terigu.
Tepung terigu kini menjadi salah satu
dari sembilan bahan pokok yang ditetapkan pemerintah, meskipun gandum bukan
tanaman asli Indonesia. Pada tahun 2022, Indonesia mengimpor 9,5 juta metrik
ton biji gandum untuk memproduksi 6,661 juta metrik ton tepung terigu, yang
menunjukkan ketergantungan penuh pada impor gandum (UNICEF, 2022).
Bisnis Besar di Balik Tepung Terigu
Industri tepung terigu berkembang pesat
di Indonesia, dari pengolahan gandum hingga produksi aneka makanan berbasis
terigu. Hampir setiap hari, kita mengonsumsinya dalam berbagai bentuk: roti, mi
instan, gorengan, kue, hingga camilan ringan. Dominasi ini tidak terjadi secara
alami, melainkan melalui hegemoni ekonomi dan budaya yang diperkuat oleh
korporasi.
Dalam perspektif Teori Hegemoni Antonio
Gramsci, pengakuan tepung terigu sebagai bahan pokok adalah bentuk dominasi
korporasi yang mengontrol pasar pangan demi keuntungan bisnis. Gandum yang
diimpor belum tentu berkualitas premium, tetapi tetap diolah dan dijual dengan
harga tinggi. Tak hanya itu, masyarakat diarahkan untuk percaya bahwa tepung
terigu aman dan sehat dikonsumsi, meskipun kandungan gluten di dalamnya tidak
cocok bagi sebagian besar orang yang tinggal di negara tropis. Bahkan, di
negara-negara empat musim sendiri, semakin banyak orang mengalami intoleransi
gluten.
Konsumsi tepung olahan yang berlebihan
dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung
(Hello Sehat, 2023). Akibatnya, penyakit lambung dan gangguan pencernaan
menjadi semakin umum. Ironisnya, ini menciptakan peluang bagi industri farmasi
yang diuntungkan dari meningkatnya konsumsi obat-obatan terkait gangguan
pencernaan.
Hegemoni Terigu dan Hak atas Kesehatan
Dalam perspektif hak asasi manusia,
setiap individu berhak atas kesehatan yang optimal sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).
Hak atas kesehatan mencakup akses terhadap pangan yang aman, bergizi, dan
memadai. Namun, dominasi tepung terigu yang bukan berasal dari budaya pangan
lokal dan kurang sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat tropis menimbulkan
pertanyaan serius tentang pemenuhan hak ini.
Ketergantungan terhadap impor gandum
juga berpengaruh pada hak atas ketahanan pangan. Deklarasi PBB tentang Hak
Petani dan Masyarakat Pedesaan (UNDROP) menegaskan bahwa petani berhak
mengembangkan dan melindungi sistem pangan lokal mereka. Namun, kebijakan yang
lebih mengutamakan impor dibandingkan mendukung petani lokal dapat mengancam
keberlanjutan sistem pangan nasional serta kesejahteraan para petani Indonesia.
Lunturkan Identitas Pangan Lokal
Hegemoni tepung terigu juga diperkuat
oleh iklan dan inovasi kuliner berbasis terigu yang semakin beragam. Dampaknya,
makanan berbasis bahan lokal semakin tersingkir, dicap sebagai ‘kue
tradisional’ atau ‘makanan jadul’. Generasi muda mulai kehilangan keterikatan
dengan kuliner asli Indonesia dan lebih tertarik pada makanan impor.
Namun, di tengah dominasi ini, muncul
gerakan sosial yang mendorong konsumsi makanan lebih sehat. Mulai dari clean
eating, plant-based diet, vegetarian, hingga food combining (FC), semuanya
berangkat dari kesadaran untuk mengurangi ketergantungan pada produk olahan
industri. Gerakan ini juga menjadi bentuk perlawanan terhadap penguasaan pangan
oleh korporasi dan mendukung para petani lokal.
Saatnya Berpihak pada Ketahanan Pangan
Sejati
Ketergantungan Indonesia pada impor
gandum tidak hanya berdampak pada ketahanan pangan, tetapi juga pada ekonomi
lokal. Impor gandum yang tinggi dapat melemahkan sektor pertanian lokal,
merugikan petani, dan mengancam produksi pangan domestik (Indonesiana, 2023).
Untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, pemerintah perlu
menyeimbangkan kebijakan impor dengan upaya yang lebih kuat untuk mendukung
produksi pangan lokal (Kementerian Keuangan, 2023).
Mengurangi ketergantungan pada tepung
terigu dan kembali mengutamakan bahan pangan lokal bukan hanya soal preferensi
makanan, tetapi juga bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hak
atas kesehatan dan ketahanan pangan harus menjadi prioritas dalam kebijakan
pangan nasional. Sudah saatnya kita bertanya: apakah pilihan makanan kita
benar-benar berdasarkan kebutuhan, atau justru hasil dari hegemoni ekonomi yang
mengendalikan pola konsumsi kita?
Dengan memahami dan menyadari dampak
dari ketergantungan pada tepung terigu, kita dapat mengambil langkah menuju
pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan, sekaligus mendukung ketahanan
pangan nasional.
Penulis: Christy (Host Podcast Tanggap
Rasa Edisi Tepi Jurang)
Short link