Kabar Latuharhary

Dugaan Pelanggaran HAM di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan

Kabar Latuharhary – Situasi perempuan terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) kembali menjadi sorotan. Berbagai laporan adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta tindakan penyiksaan terhadap mereka menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak.

Laporan terbaru dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis laporan terkait dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penyiksaan yang dialami oleh perempuan terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP). Laporan ini adalah hasil dari kunjungan dan pemantauan sejak tahun 2022 hingga tahun 2024 pada Lapas perempuan di 8 wilayah Indonesia. Diantaranya yaitu, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Lampung, Bali, dan Banten untuk mendokumentasikan situasi dan kondisi dari 14 Perempuan terpidana mati di 8 Lapas Pemasyarakatan Perempuan (LPP).

Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi, dalam acara “Konsultasi Publik Laporan Pendokumentasian Situasi Perempuan Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan” melalui Zoom Meeting, Kamis 4 Juli 2024 menyebutkan bahwa perempuan terpidana mati mengalami perlakuan yang tidak manusiawi selama berada di dalam tahanan menunggu eksekusi mati. Ia menjelaskan bahwa hasil kunjungan dan pemantauan Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa terdapat unsur-unsur penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia terutama dalam masa deret tunggu.

Secara umum sebagai gambaran Satyawanti Mashudi memaparkan bahwa para perempuan terpidana mati telah masuk dalam deret tunggu ada yang lebih dari 10 tahun. Terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses hukum sehingga pidana mati dinilai tidak tepat. Ditempatkan dalam Lapas yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi terpidana mati sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Status mereka berbeda dengan terpidana lain yang notabene masih memiliki harapan dan kesempatan untuk bebas serta meneruskan kehidupan di luar Lapas.

Satyawanti Mashudi kemudian memaparkan Gambaran Umum LPP sebagaimana pemantauan yang telah dilakukan. “5 dari 8 LPP telah melampaui kapasitas daya tampungnya dengan mayoritas Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) perempuan dipidana atas kasus narkotika,” ungkap Satyawanti Mashudi. Selain itu menurutnya, jumlah petugas LPP khususnya petugas keamanan, umumnya tidak sebanding dengan jumlah, sehingga beban petugas cukup berat dalam memastikan situasi LPP tetap kondusif.

Dari Laporan yang disampaikan oleh Satyawanti Mashudi, Komnas Perempuan mencatat dampak menjalani pidana dalam deret tunggu hukuman mati. Masa tunggu yang dijalani oleh perempuan terpidana mati memberikan dampak depresi dan stress berkepanjangan, memunculkan kondisi sulit tidur atau bisa tidur tetapi bangun dengan kegelisahan tentang kapan waktu eksekusi akan dilaksanakan. Terdapat juga WBP mencoba bunuh diri tiga kali dengan meminta racun sianida ke sesama WBP. “Hampir di seluruh lapas di mana pemantauan dilakukan, tidak ada psikolog in-house yang memberikan layanan kesehatan jiwa, kecuali LPP Malang,” kata Satyawanti Mashudi.


Selain itu, keluarga dan pihak-pihak yang ada di sekitar terpidana mati pun turut merasakan dampaknya. “Seperti, stigma, diskriminasi, penderitaan dan kesedihan, serta ketakutan yang dialami oleh keluarga. Pada keluarga dan anak-anak dari Perempuan terpidana mati, stigma sosial juga terus menerus menghantui paska eksekusi dilakukan sehingga berdampak pada kondisi psikologis mereka,” tambahnya.

Dalam cakupan tersebut, Komnas Perempuan memberikan beberapa rekomendasi penting untuk pemerintah dan lembaga terkait, guna memperbaiki kondisi yang ada dan memastikan perlindungan HAM bagi perempuan terpidana mati. Diantaranya yaitu kepada DPR RI, Presiden RI, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan.

Laporan Komnas Perempuan ini diharapkan dapat menjadi titik tolak untuk perbaikan kondisi perempuan terpidana mati di Indonesia. Perlindungan HAM dan penghormatan terhadap martabat manusia harus menjadi prioritas utama dalam sistem peradilan dan pemasyarakatan. Sebagaimana disampaikan, Komnas Perempuan akan terus memantau situasi dan mendorong pemerintah serta lembaga terkait untuk mengambil langkah-langkah konkret guna memastikan perlindungan HAM bagi semua perempuan terpidana mati di LPP.

Acara tersebut diselenggarakan oleh Komnas Perempuan sebagai rangkaian peringatan 25 tahun The United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Selain Satyawanti Mashudi, sebagai pemapar laporan hadir pula Tiasri Wiandani. Sedangkan untuk penanggap hadir Asep N. Mulyana, Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Kejaksaan Agung, Iftitahsari, Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Akademisi Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi serta Arinta Singgi sebagai moderator. Peserta yang hadir merupakan perwakilan dari Kementerian/Lembaga RI, Lembaga HAM Nasional, Regional, Organisasi Internasional – Indonesia, perwakilan-perwakilan dari organisasi kemasyarakatan di Indonesia, Lembaga Pemasyarakatan, Kanwil Kemenkumham, dan Kejaksaan Tinggi Wilayah Pemantauan, serta individu.

Penulis            : Niken Sitoresmi

Editor               : Banu Abdillah

Short link