Kabar Latuharhary

Kolaborasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak Disabilitas

Kabar Latuharhary – Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak disabilitas menjadi fokus utama berbagai pihak di Indonesia. Pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), dan komunitas masyarakat perlu bekerja sama serta berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang aman juga ramah bagi anak-anak disabilitas.

Komnas HAM melalui perwakilan tim Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) turut serta mengikuti acara “Advokasi Terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Pada Anak Disabilitas”, Kamis 11 Juli 2024. Acara ini diselenggarakan oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Gedung Pusdatin, Kementerian Sosial. Acara ini bertujuan untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual pada anak disabilitas di satuan pendidikan dan mendiskusikan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak disabilitas di satuan pendidikan.

Menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993. Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap pelindungan anak. Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Dengan perincian, anak sebagai korban dari kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, korban bullying 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan 24 kasus. Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (Kementerian PPPA) menyebutkan bahwa pada tahun 2023, telah terjadi 2.325 kasus kekerasan fisik terhadap anak. 

Hal tersebut menunjukkan perlunya strategi yang lebih efektif dan kolaborasi yang lebih erat antara berbagai pemangku kepentingan. Berbagai inisiatif telah diluncurkan untuk mencegah kekerasan seksual khususnya pada anak dengan disabilitas.

Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Fathimah Asri Muthmainnah menjelaskan mengenai advokasi penanganan kekerasan seksual di Satuan Pendidikan. Menurutnya, terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada Anak dan perempuan dengan disabilitas, memiliki tantangan tersendiri yang sangat berlapis, sehingga penanganan disabilitas ini perlu kerja sama kolaboratif.

“Untuk kasus perempuan yang mendapatkan dugaan tindak kekerasan seksual, KND melakukan kerja sama dengan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM), yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Kementerian terkait & berusaha mendorong kebijakan yang dapat mengayomi kasus yang sedang ditangani,” kata Fathimah. Kerja sama ini sangat penting karena masalah ini kompleks dan memerlukan pendekatan multidimensi. Kami harus bekerja sama untuk menciptakan perubahan nyata, tambahnya.

Dalam acara diskusi tersebut, beberapa perwakilan pihak undangan yang hadir menyatakan komitmen dan dukungannya dalam upaya advokasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak disabilitas. Salah satunya diutarakan oleh Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sri Nurherwati. Ia mengungkapkan bahwa terdapat empat (4) Undang-undang (UU) yang bisa dijadikan sebagai pedoman, yaitu UU TPKS, UU Perlindungan anak, UU Penyandang Disabilitas dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Menurutnya dalam kasus penanganan kekerasan seksual para pihak harus terbuka, artinya mendengar apa yang akan korban sampaikan. “Kalau membutuhkan perlindungan saksi dan korban, kami akan meemberikan layanan bantuan hukum, psikologis, psikososial, dan bahkan kalau dibutuhkan bantuan transportasi selama menjalani proses hukum,” tambahnya.



Dalam acara diskusi tersebut, hadir pula perwakilan dari Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Kementerian Agama Republik Indonesia, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta dan dinas-dinas atau unit teknis terkait lainnya.


Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan mandat kepada Komnas HAM sebagai salah satu komisi yang dapat melaksanakan pemantauan dalam rangka efektivitas Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam konteks hak asasi manusia. Mandat tambahan yang diberikan ini juga sesuai kerja-kerja yang dilakukan Komnas HAM selama ini terkait dengan kelompok rentan/marginal/minoritas.

Pelindungan anak disabilitas merupakan tanggung jawab bersama dan setiap elemen masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya ini. Adanya sinergi yang kuat antara berbagai pihak diharapkan dapat dapat menekan angka kekerasan seksual pada anak disabilitas. Bagi Komnas HAM, acara Advokasi Terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Pada Anak Disabilitas ini juga dapat memperkuat pemahaman publik terkait pencegahan dan penanganan TPKS, merefleksikan pola penanganan kasus TPKS pasca pengesahan UU TPKS khususnya pada kelompok rentan/marjinal/minoritas, serta memperkuat jejaring koordinasi pencegahan dan penanganan TPKS.

Penulis          : Niken Sitoresmi

Editor            : Banu Abdillah
Short link