Pendidikan dan Penyuluhan

Pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi Orang dengan HIV dan Populasi Kunci

Indonesia menunjukkan situasi praktik diskriminasi, stigmatisasi, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan Populasi Kunci (Populasi kunci dalam konteks HIV/AIDS merujuk pada kelompok-kelompok tertentu yang lebih rentan atau memiliki risiko lebih tinggi terhadap infeksi HIV). Populasi kunci ini termasuk Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) Pekerja Seks Komersial (PSK), Pengguna Narkoba Suntik (Penasun), Transgender, dan Individu di Lembaga Pemasyarakatan). Kasus diskriminasi, stigmatisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang muncul tersebut merupakan "gunung es" yang luar biasa, dan jika ditelusuri lebih lanjut, angkanya akan menjadi jauh lebih besar. Mereka mengalami berbagai jenis diskriminasi, stigmatisasi, marjinalisasi, dan pelecehan hukum (judicial harassment), termasuk kriminalisasi. Ini meningkatkan kerentanan mereka dan menghalangi mereka untuk mendapatkan layanan kesehatan, serta menikmati HAM lainnya sebagai warga negara.

Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan populasi kunci telah diidentifikasi sebagai hambatan utama untuk respons yang efektif terhadap HIV. Stigma dan diskriminasi tidak hanya melanggar HAM, tetapi juga menghalangi upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah infeksi HIV baru dan mengurangi dampak epidemi pada individu, keluarga, masyarakat dan negara.

Kasus HIV dan AIDS di Indonesia pada 2023 tercatat 570.000 orang, kematian dikarenakan AIDS sebanyak 27.000, anak yang kehilangan orangtua karena AIDS sebanyak 280.000 (UNAIDS, 2023). Pada 2024, terdapat 16.000 kasus AIDS baru, mayoritas di rentang usia 25-29 tahun. Usaha- usaha untuk mengatasi dan menangani HIV dan AIDS telah melalui perjuangan panjang, dan semakin jelas bahwa jaminan perlindungan HAM adalah salah satu dari poros utama respons nasional yang efektif terhadap HIV dan AIDS. Berkaitan dengan hak-hak ODHIV dan Populasi Kunci, selain menghadapi kurangnya ketersediaan obat dan pelayanan kesehatan, stigmatisasi yang sering dialami ODHIV mengakibatkan mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam mengakses pelayanan publik termasuk pelayanan kesehatan.

Dengan jumlah ODHIV yang demikian besar (dan ini adalah fenomena gunung es, karena banyak ODHIV yang tidak mengetahui atau tidak melaporkan jika mereka mengalami HIV), kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan ke Komnas HAM hanya sebanyak 10 kasus untuk 10 tahun (2014-2023).  Sebaran wilayah pengaduan adalah Bali (1), Maluku (1), Papua (1), Sumatera Selatan (1), Sumatera Utara (1), DKI Jakarta (2), Banten (1), Jawa Timur (1) dan Jawa Barat (1). Sedangkan isu hak yang terlanggar adalah: hak untuk hidup (1), hak atas kesejahateraan (6), hak atas keadilan (3), hak atas rasa aman (1), hak tidak diperlakukan diskriminatif (1), dan hak mengembangkan diri (1).

Dalam kajian terkait permasalahan pemenuhan HAM kelompok ODHIV yang dilakukan oleh Komnas HAM bekerja sama dengan DATUM dan UNAIDS yang berjudul BERDIRI (TIDAK) SAMA TINGGI: Kajian Tentang Situasi Stigmatisasi, Diskriminasi, dan Pelanggaran HAM Terhadap Orang dengan HIV dan  Populasi Kunci (Komnas HAM, 2023),  ditemukan bahwa masih terus terjadi berbagai tindakan stigmatisasi, diskriminasi, dan beragam bentuk pelanggaran hak-hak dasar dalam konteks HIV yang dialami oleh  ODHIV dan Populasi Kunci, diantaranya pelanggaran hak atas kesehatan, hak untuk bebas dari diskriminasi, hak atas privasi, hak hidup, hak atas pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan sosial, hak atas rasa aman, serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan masih menjadi faktor yang mendorong terus berlangsungnya stigmatisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM kepada Orang dengan HIV dan Populasi Kunci. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif tersebut mencakup peraturan perundang-undangan tingkat nasional dan daerah, yang menyebabkan terus langgengnya berbagai hambatan hukum (legal barriers) bagi Orang dengan HIV dan Populasi Kunci, serta menyulitkan upaya penciptaan lingkungan yang mendukung bagi respon HIV yang efektif di Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh LBH Masyarakat di 14 distrik di Indonesia (Medan, Bandung, Surakarta, Surabaya, Malang, Badung, Denpasar, Makassar, Manado, Sorong, Jayapura, Jayawijaya, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat) selama periode waktu 2016-2017 menemukan bahwa bentuk pelanggaran HAM terhadap kelompok ODHA yang paling banyak adalah pelanggaran hak atas kesehatan (52.9%), dikuti dengan hak atas privasi (18.84%), hak atas informasi (5.07%), hak untuk bebas berpindah dan memiliki tempat tinggal (3.62%), dan hak-hak lainnya (9.42%). Dari 138 korban ODHA yang mendapatkan pelanggaran HAM, hanya 21 orang yang melakukan tindak  lanjut. Alasan banyak korban tidak melapor adalah karena takut, malu, pasrah, dan lain-lain. Banyak juga korban yang mengaku tidak tahu caranya melapor dan tidak tahu bahwa apa yang mereka alami adalah pelanggaran HAM. Selain itu, banyak korban juga menganggap bahwa tindak lanjut tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Penelitian LBH ini menjadi salah satu pertanda mengapa tidak banyak pengaduan pelanggran HAM oleh ODHIV dan Populasi Kunci yang dilaporkan ke Komnas HAM.

Respon Negara/Pemerintah atas stigmatisasi, diskriminasi, dan berbagai pelanggaran HAM terhadap Orang dengan HIV dan Populasi Kunci, dalam sisi normatif cukup baik, namun belum mencukupi/ memadai untuk menghadirkan upaya yang maksimal untuk perlindungan hak-hak Orang dengan HIV dan Populasi Kunci. Salah satu kebijakan yang cukup baik adalah adanya dokumen Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Indonesia Tahun 2020-2024, namun dalam tataran implementasi dan langkah-langkah konkret masih perlu diperbaiki. Respon Negara/ Pemerintah dalam berbagai kasus konkrit stigmatisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM masih kurang memadai yang menunjukkan masih rendahnya akuntabilitas penyelesaian kasus dan perlindungan HAM serta masih minimnya upaya pemulihan pada korban.

Komnas HAM dalam kaitannya dengan pemenuhan hak ODHIV dan Populasi Kunci memiliki posisi yang strategis untuk memberikan kontribusi bagi respons nasional yang komprehensif dan berbasis hak terhadap HIV. Komnas HAM dapat mendorong diintegrasikannya komponen HAM yang kuat dalam Rencana Aksi Nasional untuk penanggulangan AIDS, termasuk berbagai strategi program spesifik berbasis hak. Komnas HAM dapat membantu para penyandang hak — seperti ODHIV dan mereka yang rentan terhadap infeksi — untuk mengklaim hak untuk bebas dari diskriminasi; hak untuk mendapat informasi pencegahan HIV, hak atas pendidikan, hak atas layanan; perlindungan kebebasan dari paksaan dan kekerasan seksual; dan untuk pengobatan HIV. Komnas HAM juga dapat membantu upaya untuk memantau kemajuan negara menuju akses universal untuk pencegahan, pengobatan, perawatan, dan dukungan HIV — yang merupakan bagian dari hak atas kesehatan dan non-diskriminasi.

Untuk itu, Komnas HAM telah melakukan berbagai upaya, baik berupa program penguatan kelembagaan (pelatihan terkait ODHIV dan Populasi Kunci kepada staf Komnas HAM) dan juga pengkajian mengenai Situasi Stigmatisasi, Diskriminasi, dan Pelanggaran HAM terhadap ODHIV dan  Populasi Kunci, serta melakukan diseminasi dan pelatihan HAM di 16 kabupaten/kota pada aparat pemerintah daerah yang antara lain membahas pemenuhan HAM bagi ODHIV dan Populasi Kunci pada 2024 ini.

Pada gilirannya, keseluruhan fungsi Komnas HAM memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM Orang dengan HIV dan Populasi Kunci. Komnas HAM membutuhkan pendekatan yang terstruktur dan berkelanjutan untuk menangani masalah-masalah sistemik pelanggaran HAM yang dihadapi kelompok rentan, termasuk Orang dengan HIV dan Populasi Kunci. Dukungan terpadu perlu dibangun oleh Komnas HAM sendiri maupun bersama dengan pemangku kepentingan dan mitra kerja terkait untuk memastikan bahwa setiap mekanisme yang disusun akan menjawab kebutuhan masyarakat rentan dan dapat dipertahankan secara kelembagaan oleh Komnas HAM.

 

Penulis : Kurniasari N Dewi/ Penyuluh Sosial Madya Komnas HAM

Foto : Freepik.com

Short link