Latuharhary - Tindak kekerasan aparat keamanan saat menangani aksi massa
kerap berulang. Komnas HAM mengkritisi hal tersebut dengan sejumlah solusi
terkait instrumen hak asasi manusia serta masukan untuk evaluasi budaya kerja
kepolisian.
“Instrumen HAM yang kita miliki memang sudah banyak, namun
masih memerlihatkan adanya gap dalam implementasi. Pendekatan HAM masih
belum sepenuhnya digunakan Pemerintah (kepolisian) dalam banyak hal, termasuk
dalam memastikan hak penyampaian pendapat di Indonesia, yaitu belum dilakukan
jaminan proses pengamanan berbasis hak asasi manusia,” terang Koordinator
Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah saat menjadi narasumber dalam dialog “Ruang
Publik KBR: Kapan Kekerasan Aparat dalam Penanganan Aksi Bisa Diakhiri?” di
kanal Youtube Berita KBR, Selasa (3/9/2024).
Publik pun mempertanyakan akar masalah tindak represif
aparat keamanan yang berulang dalam menangani aksi unjuk rasa atau kerumunan
massa. Menjawab masalah ini, Anis Hidayah
mengingatkan komitmen pemerintah Indonesia yang meratifikasi hampir semua
instrumen hak asasi manusia, termasuk kovenan internasional hak sipil dan
politik. Substansi kovenan ini memuat hak menyampaikan pendapat menggunakan
pendekatan kekerasan dalam merespon aksi unjuk rasa.
Hak-hak ini pun sebenarnya merupakan hak dasar dalam
konstitusi dan diturunkan dalam Undang-Undang tentang HAM. Instrumen-instrumen
HAM yang telah diratifikasi pemerintah, kemudian diturunkan juga dalam banyak
aturan turunan di institusi kepolisian, salah satunya Peraturan Kapolri Nomor 8
Tahun 2009 Tentang tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam
Pelaksanaan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Namun, implementasi aturannya
di lapangan sangat berbeda.
“Sehingga jika kita refleksikan kembali, sejak dua puluh
enam tahun kita reformasi sampai hari ini, aksi-aksi di Indonesia diwarnai
dengan penggunaan kekerasan dalam proses pengamanan dan pembubaran massa dan
lain sebagainya yang semestinya dalam banyak regulasi sudah diatur pendekatan
hak asasinya,” tegas Anis.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penggunaan Kekuatan dinyatakan bahwa aparat keamanan saat menggunakan kekuatan
harus memerhatikan aspek legalitas dalam hal ini terkait penggunaan kekuatan yang
sah untuk dilakukan, aspek proposionalitas yaitu sampai sebatas mana penggunaan
kekuatan dapat dilakukan, dan aspek nesesitas terkait pertimbangan penggunaan
kekuatan dalam merespon aksi unjuk rasa.
Hal lain yang disorot sebagai
akar masalah, yakni perspektif dan budaya kerja di kepolisian masih menggunakan
pendekatan kekerasan berlebih oleh aparat keamanan.
“Perspektif dan budaya kerja kepolisian masih melihat
pendekatan penggunaan kekuatan berlebih
dan penggunaan kekerasan lebih efektif, dibandingkan dengan
pendekatan-pendekatan hak asasi manusia meskipun di internal Polri sudah
memiliki regulasi tentang itu tetapi dalam prakteknya kecenderungan menggunakan
kekerasan lebih dikedepankan daripada pendekatan humanis,” ungkap Anis
Perspektif dan budaya kerja ini akhirnya menjadi praktik
umum yang diterapkan oleh kepolisian. Hal ini akibat belum adanya mekanisme
evaluasi penegakan hukum bagi aparat pelaku kekerasan. Lambat laun muncul
asumsi tindak kekerasan oleh aparat menjadi pendekatan yang dinormalisasi
walaupun hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.
Pada aksi penolakan RUU Pilkada beberapa waktu lalu,
misalnya, Komnas HAM telah memberi rekomendasi kepada Kapolri untuk segera
melakukan evaluasi menyeluruh terkait pendekatan yang digunakan oleh aparat
keamanan di lapangan. Evaluasi menyeluruh, artinya Kapolri harus melibatkan
Kapolda. Hal ini karena aksi unjuk rasa dilakukan di banyak wilayah di
Indonesia dan kekerasan terjadi di hampir semua wilayah. Namun rekomendasi
evaluasi ini belum dilakukan Kapolri.
Evaluasi yang
dimaksud termasuk, di antaranya menjatuhkan sanksi baik eksternal maupun
internal. Hal penting lainnya dengan mendorong adanya proses peradilan karena
ini adalah kekerasan yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia namun juga
melanggar hukum di Indonesia.
Narasumber lainnya dalam dialog ini, antara lain Arif
Maulana (Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI) dan Bambang Rukminto (pengamat
kepolisian dari ISESS).
Para narasumber mengkritisi perilaku aparat keamanan
Indonesia yang berulang kali menggunakan
kekerasan berlebih dalam merespons berbagai aksi unjuk rasa. Padahal
sesungguhnya Polri paska reformasi telah memiliki sejumlah instrumen yang
mengatur penggunaan kekuatan dapat diterapkan dengan tetap menjunjung tinggi
prinsip dan standar HAM.
(AAP/BA/IW/SA)