Bitung--Komnas HAM bersama Indonesia Aids Coalition (IAC) dalam rangkaian Festival HAM 2024 menggelar diskusi Pleno I yang bertajuk "Menguatkan Kolaborasi Pemerintah daerah dan Masyarakat Sipil dalam Pencegahan dan Penanganan TPKS", bertempat di Aula Sarundajang, Kantor Pemerintah Kota Bitung pada Selasa (30/7/2024). Diskusi pleno 1 ini didukung oleh Yayasan Integritas Justisia Madani Indonesia (IJMI), Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (PUSHAM UBAYA) dan Pemerintah Kota Bitung.
Diskusi pleno ini menghadirkan narasumber Koordinator Sub Komisi Pemajuan Komnas HAM Anis Hidayah, Wali Kota Bitung Maurtis Mantiri, Ketua PUSHAM UBAYA Sonya Claudia Siwu, Ketua Yayasan IJMI Mia Marina, Direktur Eksekutif IAC Aditya Wardhana dan Aktivis Melani Subono.
Berbagai pembahasan mengenai kondisi aktual dan refleksi dari upaya-upaya penanganan tindak pidana tindak pidana kekerasan seksual serta tantangannya diulas dalam pemaparan narasumber.
Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM dan Komisioner Komnas HAM RI, Anis Hidayah mengulas refleksi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sudah dua tahun lebih disahkan. Anis menyoroti pentingnya melihat efektifitas dari penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah diundangkan 2 tahun ini. Hal ini karena kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang masih marak terjadi. Setiap tahun, hampir 300.000 orang, terutama perempuan, anak, dan kelompok rentan, menjadi korban kekerasan seksual. Artinya UU TPKS yang sudah berusia lebih dari dua tahun dalam penerapannya masih belum efektif. Undang-Undang ini tidak hanya untuk penegakan hukum tetapi juga untuk perlindungan bagi korban.
Kekerasan seksual yang masih kerap terjadi karena budaya patriarki. Budaya inilah yang menyebabkan ketidakadilan gender dan diskriminasi terhadap perempuan. Pasca disahkannya UU TPKS, banyak korban mulai berani berbicara, meskipun masih menghadapi tantangan seperti kriminalisasi dan intimidasi. Undang-Undang TPKS mengatur sembilan bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi, perkawinan paksa, penyiksaan, eksploitasi, perbudakan, dan kekerasan berbasis elektronik.
Kekerasan seksual seringkali terjadi dalam relasi kuasa, baik di perguruan tinggi, lembaga pendidikan agama, pesantren, maupun keluarga.
Pejabat publik yang terbukti melakukan kekerasan seksual bisa dijatuhi hukuman pidana dan dicopot dari jabatannya. Komnas HAM sendiri telah membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan TPKS untuk memastikan lingkungan kerja yang aman dari kekerasan seksual.
Pada rekomendasinya Anis menyatakan perlu adanya percepatan untuk peraturan turunan UU TPKS, penguatan sistem hukum yang berperspektif pada korban dan adil gender, serta pendidikan seksual yang inklusif dan berbasis HAM untuk efektivitas pencegahan dan penanganan TPKS.
Tantangan terbesar dalam TPKS adalah perspektif aparat penegak hukum yang sering membebani korban dalam pembuktian kasus. Inilah yang membuat korban enggan melaporkan kekerasan seksual yang terjadi terhadap dirinya.
Seringkali saat dalam proses pemeriksaan atau ketika korban berani mengungkap kekerasan seksual yang terjadi kepada dirinya terjadi viktimisasi kembali (viktimisasi sekunder).
“Kenapa banyak korban (kekerasan seksual) yang trauma tidak berani bicara? Karena peristiwanya saja sudah membuat stigma dan kriminalisasi yang selalu menyalahkan korban dengan pernyataan-pernyataan bahwa salah kamu yang berpakaian terbuka atau keluar malam. Selalu korban yang pertama kali disalahkan ketika melapor,” ungkap Anis.
Stigma dan diskriminasi ini juga turut dialami oleh rekan-rekan populasi kunci. Adhitya Wardhana atau yang akrab disapa Edo, Direktur eksekutif IAC mengungkapkan bahwa populasi kunci sebagai kelompok marginal seringkali mendapat kekerasan seksual. Mereka bahkan menormalisasi kekerasan yang terjadi terhadap dirinya.
“Terjadi internalisasi stigma terhadap populasi kunci saat mendapat kekerasan seksual bahwa wajar mereka mendapatkan kekerasan dan diskriminasi karena diri mereka sebagai pendosa. Pekerja seks misalnya ketika mereka menerima kekerasan dari pelanggannya mereka menganggap itu (kekerasan) sebagai hal yang biasa,” tutur Edo.
Ketua PUSHAM UBAYA Sonya C. Siwu memaparkan upaya kolaborasi akademisi PUSHAM UBAYA dan Pemerintah Daerah dalam penanganan TPKS di Surabaya serta Wali Kota Bitung Maurits Mantiri juga membagi inovasi capaian pembangunan dalam pencegahan kekerasan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak di Kota Bitung.
Sementara itu, Ketua Yayasan IJMI Mia Marina memaparkan upaya penanganan TPKS pada pekerja migran.
Selain itu, seninan sekaligus Aktivis Melanie Subono juga mengungkap tindak pidana kekerasan seksual yang rentan dialami para pelaku seni di dunia entertainment, yang jamak dan umum terjadi. Namun demikian, hal ini sering tidak disadari dan dianggap wajar.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani yang hadir didaulat untuk memberi tanggapan. Ia mencurahkan pandangannya mengenai penegakan hukum tindak pidana kekerasan seksual yang butuh kesamaan perspektif, willingness dan komitmen dari semua pihak terutama aparat penegak hukum.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas Jonna A. Damanik juga mengungkap kondisi dimana penyandang disabilitas merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Ia juga mengungkap berbagai kendala penegakan hukum kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dialami penyandang disabilitas, antara lain penyelesaian kasus melalui restorative justice.
Hal ini juga diamini oleh Komisioner Pengaduan Komnas HAM Hari Kurniawan yang membagi pengalamannya mengadvokasi kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dialami penyandang disabilitas yang tidak kunjung mendapat penyelesaian dan menghadirkan keadilan bagi korban. Ia juga mendorong komitmen aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk upaya pemulihan korban dijalankan.
Hadir dalam pleno ini Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, Wakil Ketua Internal Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Putu Elvina, Komisioner Pengaduan Hari Kurniawan, jajaran Biro dan Sekretariat Komnas HAM di 6 Provinsi dan para pegawai Komnas HAM.
Pleno I yang dikemas secara luring dan dan daring ini dihadiri sejumlah perwakilan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dan kedutaan besar negara sahabat. (DA-AAP/BA/AS).
Short link