Kabar Latuharhary – “Hukum humaniter
merupakan hukum yang dibuat tidak untuk membenarkan peperangan, tetapi
meminimalisir ekses-ekses negatif yang lebih buruk ketika perang terjadi,” ucap
Atnike Nova Sigiro dalam kegiatan peningkatan kapasitas terkait hukum humaniter
dan HAM, yang diselenggarakan Pokja Dukungan Pendidikan dan Penyuluhan HAM
Komnas HAM secara hybrid pada Senin, 1 Juli 2024.
Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua Komnas HAM; Atnike Nova Sigiro, Wakil Ketua Eksternal; Abdul Haris Semendawai, Komisioner Dukungan Penyuluhan; Putu Elvina, Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM; Esrom Hamonangan, Narasumber Kepala Departemen Hukum atau Penasehat Hukum International Committee of the Red Cross (ICRC); Christian Donny Putranto beserta jajaran, Narasumber Kepala Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia (Kababinkum TNI); Kresno Buntoro beserta jajaran, dan jajaran staf Komnas HAM.
Putu Elvina dalam kata sambutannya
menyampaikan bahwa Komnas HAM telah aktif melaksanakan berbagai kegiatan, baik
melalui penyebarluasan wawasan HAM (PeSan HAM) maupun peningkatan aktualisasi
HAM Indonesia (PAHAMI) kepada berbagai target sasaran atau 5 pilar sasaran,
salah satunya adalah kepada Aparat Penegak Hukum baik Polisi maupun TNI.
“Komnas HAM bersama TNI telah menjalin
kerja sama sejak tahun 2011. Tahun 2024 ini kami tindak lanjuti
dengan penandatanganan MOU dalam waktu dekat, dan melakukan pelatihan yang
lebih intensif. Sebelum melakukan pelatihan kepada anggota TNI, tim Komnas HAM
perlu memperhatikan dan memahami terkait hukum humaniter, yang merupakan salah
satu panduan di bidang militer yang secara aktif digunakan TNI. Komnas HAM
dalam kerja-kerja Pendidikan dan Penyuluhan perlu untuk meningkatkan kapasitas
terkait hukum humaniter maupun hukum-hukum lainnya diberbagai pelatihan yang
akan kami selenggarakan” ucap Putu Elvina.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro
dalam pembukaan kegiatan menuturkan bahwa isu yang cukup jarang dibicarakan
oleh Komnas HAM adalah hukum humaniter, salah satu alasannya karena sejak
kemerdekaan rakyat Indonesia hidup dengan damai. Berbeda dengan TNI yang
terlibat secara langsung dalam penerapan hukum humaniter.
“Komnas HAM lebih banyak berbicara dan
bekerja menggunakan prinsip HAM sebagai satu aturan yang berlaku sepanjang
masa, di dalam situasi damai atau peperangan. Forum seperti ini selain menambah
kapasitas, juga menjadi forum bertukar ilmu antara Komnas HAM, ICRC dan TNI
terkait pengetahuan hukum international dan hukum nasional. Terlebih lagi, jika
Komnas HAM akan mengusung perannya untuk menjadi penyuluh dalam bidang HAM,
termasuk hukum humaniter bagi Kementerian/Lembaga lain dalam hal ini misal TNI
dan Polri,” kata Atnike
Peningkatan kapasitas ini dibagi
menjadi dua (2) sesi kegiatan, untuk sesi pagi menghadirkan narasumber dari
Kepala Departement Hukum International Committee of the Red Cross (ICRC);
Christian Donny Putranto dan sesi siang diisi oleh narasumber Kababinkum TNI;
Kresno Buntoro, dan Ketua Komnas HAM; Atnike Nova Sigiro.
Pada sesi pagi narasumber Christian
Donny menjelaskan bahwa ICRC bekerja untuk melindungi dan memberikan bantuan
kepada mereka yang terdampak oleh konflik bersenjata, atau situasi kekerasan
lainnya. Selain hadir di daerah-daerah konflik, ICRC turut berperan pada daerah
non-konflik.
“Peran ICRC pada daerah non-konflik
adalah untuk menyampaikan tentang hukum humaniter, dan mendukung kepentingan
kemanusiaan yang berhubungan dengan hukum humaniter tersebut,” kata Donny.
Donny menjelaskan bahwa Hukum
Humaniter Internasional merupakan seperangkat aturan yang atas dasar
kemanusiaan, bertujuan untuk membatasi dampak dari konflik bersenjata. Hukum
humaniter ini melindungi orang-orang yang tidak terlibat, tidak lagi terlibat,
dan dalam peperangan. Selain itu, hukum ini juga membatasi alat dan cara
berperang.
“Kategori yang tidak terlibat mencakup
rakyat sipil meliputi anak-anak, perempuan, pengungsi, petugas kesehatan dan
lain-lain. Sementara yang tidak terlibat seperti prajurit yang terluka atau
tahanan. Dilindungi artinya diperlakukan secara manusiawi, tidak boleh disiksa,
akses makanan dan perawatan medis terjaga, termasuk higenitas dari lokasi
penahanan harus sesuai standar kemanusiaan,” ungkap Donny
Hukum HAM dan hukum humaniter, lanjut
Donny merupakan hukum yang saling melengkapi. Hukum HAM berlaku setiap saat,
namun hukum humaniter hanya berlaku ketika perang. “Hukum humaniter tidak
mengatur tentang larangan perang, dan apakah perang terjadi secara sah atau
tidak. Namun apabila terjadi perang, perlu diperhatikan apakah hukum humaniter
sudah diterapkan atau belum,” kata Donny.
Kababinkum TNI, Kresno Buntoro dalam
paparannya menyampaikan bahwa Indonesia berperan dalam Peacekeeping in
Middle East, Europe, Asia & Africa. Dalam konflik di Lebanon, Indonesia
tergabung dengan negara-negara lain yang diperantarakan oleh PBB. Kresno
menuturkan bahwa prajurit yang terlibat dalam misi perdamaian harus memahami
berbagai hal, seperti pemahaman terkait legal framework international
humanitarian law (IHL) dan international human
rights law (IHRL) yang tertuang dalam pedoman yang telah disusun oleh
PBB Core Pre-Deployment Training Material (CPTM). Selain itu,
materi lain yang akan diberikan saat pra tugas ialah hukum dan peraturan yang
harus dipatuhi dan dijadikan pedoman, meliputi hukum nasional, hukum
internasional, dan hukum negara tuan rumah.
“Batalyon yang akan kami kirimkan akan
melakukan latihan pra tugas, di dalam pra tugas itu dilatih semuanya termasuk
menyetir, budaya, bahasa, cara hidup, dan lain-lain, Itu untuk prajurit. Kalau
untuk officer atau perwira, latihannya agak beda sendiri.
Karena dia harus tau juga decision making process bagaimana,
bagaimana dia berinteraksi dengan satuan samping yang batalyon negara lain,”
ucap Kresno
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro
turut menjadi narasumber pada sesi kedua pengembangan kapasitas kali ini. Dalam
paparannya, Atnike menyampaikan bahwa hukum humaniter dan HAM memiliki prinsip
dan tujuan yang sama yakni menjamin kemanusiaan. “Hukum internasional yang
mengatur terkait hukum humaniter adalah konvensi jenewa 1949. Konflik
bersenjata dalam hukum humaniter internasional terbagi menjadi dua (2), yaitu
konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional,”
ujar Atnike.
Atnike menjelaskan perang adalah
sejarah peradaban yang sudah pernah terjadi dan dalam situasi terburuk
sekalipun perlu memastikan penghormatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu,
hukum humaniter muncul terlebih dahulu sebelum hukum HAM. Hukum humaniter
mengatur berbagai hal, seperti relasi horizontal antara pihak yang berkonflik
yang dianggap memiliki tanggung jawab. Hukum humaniter tersebut mempertegas hak
dan kewajiban yang sama antara negara maupun pihak non negara yang sedang
berkonflik, untuk melindungi kepentingan semua pihak yang mungkin terkena
dampak dari konflik atau perang. Hal utama yang dipastikan dalam hukum
humaniter adalah larangan melakukan serangan terhadap warga sipil.
“Dalam hukum humaniter yang
diatur ialah pihak yang berkonflik. Apabila konflik internasional antar negara
maka negara yang berkonflik wajib tunduk kepada hukum humaniter, atau tindak
tanduknya diawasi dengan indekator aturan hukum humaniter. Demikian pula
apabila konfliknya terjadi di dalam satu negara, para pihak baik negara atau
non negara yang terlibat dalam konflik juga diatur atau tunduk kepada hukum
humaniter. Dalam sudut pandang hukum humaniter kedua pihak yang berkonflik
memiliki tanggung jawab untuk memastikan perlindungan manusia, dan penghormatan
terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam konflik maupun lokasi yang tidak boleh
diserang, termasuk juga pengaturan penggunaan senjata dan lain sebagainya,”
kata Atnike.
Perbedaan antara hukum humaniter dan
hukum HAM, lanjut Atnike apabila hukum humaniter hanya berlaku dalam situasi
yang dikategorikan sebagai situasi perang atau bersenjata. Maka, hukum HAM
berlaku di setiap waktu.
“Kalau di setiap waktu artinya
saat perang pun tetap ada hukum HAM, sebaliknya hukum humaniter tidak berlaku
di setiap waktu. Hukum humaniter mengatur hubungan yang setara antara pihak
yang berkonflik, sementara itu hukum asasi manusia mengatur hubungan antara
negara dan individu. Di mana hukum HAM mengikat negara sebagai duty
bearer, sedangkan individu/masyarakat adalah right holder.
Sehingga, apabila terjadi pelanggaran HAM, apakah yang disebabkan oleh tindakan
negara atau pembiaran negara, maka yang bertanggung jawab tidak lain adalah
negara.” ucap Atnike
Penulis : Annisa Radhia
Editor : Liza Yolanda
Short link