Ambon – Tim Sekolah Ramah HAM (SRHAM) yang dipimpin oleh Putu Elvina, menyelelenggarakan FGD yang bertajuk "Pemenuhan Hak atas Pendidikan". FGD ini diselengarakan oleh Tim SRHAM dan Komnas HAM Kantor Perwakilan Maluku di Ruang Rapat Kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku, Ambon (Selasa, 04/06/2024).
Dalam FGD itu diundang sejumlah stakeholder yang terdiri dari aparatur pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Kota Ambon. Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Esrom Hamonangan, Kepala Kantor Perwakilan Maluku, Anselmus Sowa Bolen, Kapokja Pendidikan dan Penyuluhan, Hari Reswanto, serta Tim SRHAM dan staf Kantor Perwakilan Maluku.
Dalam kesempatan itu dibahas sejumlah persoalan secara bersama terutama terkait peran, upaya, dan saran terhadap situasi pendidikan di Kota Ambon. Hasil diskusi ini diharapkan dapat menjadi acuan Komnas HAM dalam membuat rekomendasi maupun kegiatan penyuluhan melalui program SRHAM.
Mengawali diskusi, Putu menyampaikan bahwa bagi Komnas HAM, pendidikan harus bisa dinikmati oleh semua pihak. Terkait kekerasan, Kepolisian Resort (Polres) mungkin memiliki data kasus di Ambon terkait kekerasan. Namun, bagaimana dengan pendidikan gratis atau diskriminasi dalam dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)? Misalnya, dana BOS hanya bisa dinikmati oleh sekolah-sekolah tertentu, sementara sekolah swasta tidak mendapatkan dana BOS. Padahal, tidak semua sekolah swasta dikelola oleh yayasan yang mampu.
Lebih lanjut, Putu mengatakan bahwa di Ambon, banyak anak yang berasal dari daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) yang aksesnya terhadap internet terbatas, sehingga mereka tidak dapat mengikuti pembelajaran daring. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk persoalan tersebut?
Mengenai tiga dosa besar dalam dunia pendidikan yaitu intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan, Putu mengatakan hal tersebut perlu menjadi perhatian. Komnas HAM berupaya membangun situasi HAM yang kondusif, dengan salah satu indikatornya adalah meningkatnya pemahaman masyarakat tentang hak asasi manusia dan kesetaraan. Oleh karena itu, Komnas HAM memiliki program Peningkatan Aktualisasi HAM Indonesia (PAHAMI).
Program PAHAMI ini terdiri dari lima pilar, lanjut Putu menjelaskan. Kelima pilar tersebut diformasikan dalam beberapa program diantaranya adalah Sekolah Ramah HAM (SRHAM), TNI/Polri Berbasis HAM, Bisnis dan HAM, Kota/Kabupaten HAM Berbasis HAM, dan Kemah Generasi.
Berdasarkan diskusi yang dilakukan antara Komnas HAM dan berbagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang hadir, diperoleh sejumlah informasi sebagai berikut:
· Penilaian dan Stigma: Penilaian yang masih sama terhadap peserta disabilitas seringkali menganggap mereka bodoh atau memberikan stigma tertentu, seperti disleksia. Oleh karena itu, diharapkan semua stakeholder memperhatikan dan memastikan kesinambungan terkait SKM (Standar Kompetensi Minimum). Apakah difabel harus memenuhi standar yang sama? Standar yang masih umum disamakan dengan non-difabel tidak dapat diterapkan secara merata. Orangtua masih berpikir bahwa anak di sekolah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak sekolah.
· Akses Pendidikan: Banyak anak disabilitas yang ditolak di sekolah umum karena tidak ada pengajar yang mampu menangani kebutuhan khusus mereka. Rata-rata mereka dipindahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Guru SLB berasal dari luar Ambon, seperti Makassar yang direkrut melalui tes CPNS. Universitas Patimura perlu membuka Program Studi (Prodi) Pendidikan Luar Biasa untuk mencukupi kebutuhan tenaga pendidik untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Terkait akses bagi 3T, anak-anak di daerah terluar Maluku bahkan tidak memiliki akses jalan yang memadai. Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memahami kebutuhan di Maluku karena daerah ini terdiri dari banyak pulau. Kunjungan ke pulau-pulau tersebut memerlukan banyak anggaran. Sistem penerimaan siswa per wilayah masih tidak merata, ada sekolah yang memiliki terlalu banyak siswa dan ada yang kekurangan siswa.
· Program Pendidikan Inklusif: Ada program Paket A dan Paket B untuk anak difabel. Ambon telah ditetapkan sebagai kota inklusi, namun belum semua kebutuhan terpenuhi. Sekolah di Kota Ambon belum semuanya memiliki fasilitas khusus, dan tidak semua sekolah dapat menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) karena keterbatasan guru yang khusus mendampingi ABK. Kebijakan sekolah yang tidak relevan dengan dinas pendidikan seringkali merugikan siswa, terutama siswa ABK. Masalah ini muncul ketika sekolah membuat kebijakan tanpa melibatkan dinas pendidikan. Sarana dan prasarana di sekolah di Kota Ambon belum memadai meskipun telah menjadi kota inklusi. Standar sekolah inklusi dan sekolah ramah anak masih jauh dari harapan.
· Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan: Di kota Ambon, terdapat kasus bullying yang cukup signifikan dan menjadi catatan penting. Upaya yang dilakukan sejauh ini hanya sebatas edukasi ke sekolah-sekolah. Sekolah tidak hanya harus menyalahkan korban tetapi juga merangkul mereka. Kekerasan di sekolah yang seringkali kurang bukti. Contohnya adalah kekerasan antara guru dan siswa atau antar siswa. Selain itu, ada kekurangan sarana dan prasarana seperti CCTV dan pagar pengaman. Masalah tawuran di sekolah masih sering terjadi. Saat patroli, beberapa sekolah terlibat tawuran, dan setelah diperiksa, anak yang sama melakukan tawuran lagi. Ini menunjukkan kurangnya disiplin diri pada anak, serta kurangnya aturan dan tata tertib di sekolah. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh pihak sekolah termasuk pelibatan orangtua dan peningkatan perhatian dari orangtua untuk memantau anak-anak mereka. Kasus pelecehan yang dilakukan oleh orang terdekat, termasuk pengajar, masih marak terjadi. Isu seksualitas masih tabu di dunia pendidikan, dan banyak orangtua tidak terbuka dengan anak-anak mereka. Anak-anak yang tidak diawasi dalam penggunaan gadget rentan terhadap bahaya. Oleh karena itu, edukasi seks sejak usia dini sangat penting.
Dalam mengatasi kekurangan tenaga pendidik untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kota Ambon, para peserta kemudian menyusun langkah-langkah rekomendasi antara lain mengintegrasikan Kebijakan melalui Implementasikan Peraturan Walikota (Perwali) yang mendukung Perda (Kota Ramah HAM, Disabilitas Kota Inklusi), perbaikan Infrastruktur dengan memastikan setiap sekolah memenuhi standar sebagai sekolah inklusif dan aksesibilitas serta Penguatan Program dan Pelatihan dan Penegakan Perlindungan melaui pembentukan Tim Penanganan Kasus Kekerasan (TPKKS) sesuai pedoman yang telah ditetapkan, serta perkuat kapasitas orang tua, lembaga layanan, dan masyarakat dalam mengatasi kasus kekerasan di lingkungan sekolah.
Menutup diskusi, Putu mengatakan bahwa terkait hak atas pendidikan di Kota Ambon, terdapat tanggung jawab pemerintah serta tanggung jawab masyarakat untuk mengimplementasikannya dengan baik. Kerja sama ini penting dan prosesnya harus dihormati. Kita semua harus berbenah, dan tidak ada yang memiliki kekuasaan absolut terhadap hak atas pendidikan. Hal ini akan membantu meminimalisir masalah, khususnya dalam dunia pendidikan.
Penulis : Feri Lubis
Editor : Liza Yolanda
Short link