Jakarta – Pilkada 2024 berpotensi menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat. Untuk mencegah terjadinya Konflik Sosial dalam Pilkada Serentak 2024, Komnas HAM melalui Tim Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara menyelenggarakan diskusi terfokus bertajuk “Antisipasi dan Mitigasi Potensi Konflik Sosial pada Pilkada Serentak 2024”. Diskusi ini digelar di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta Pusat (Senin, 13/05/2024).
Hadir dalam diskusi itu Ketua Tim Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara, Pramono Ubaid Tanthowi dan Wakil Ketua Tim Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara, Anis Hidayah. Pada kesempatan itu, hadir sejumlah narasumber diantaranya Plh. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Togap Simangunsong, Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mayjen TNI Heri Wiranto, Direktur Politik Badan Intelijen dan Keamanan Polri Brigjen Pol Yuda Gustawan, serta Koordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya Saputra.
Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sudah dimulai. Melihat hal tersebut, perlu dipetakan sejumlah masalah yang akan muncul dalam proses Pilkada 2024 sehingga dapat dilakukan antisipasi dan mitigasi. Selain konflik sosial, beberapa persoalan yang biasanya muncul dalam Pilkada diantaranya seperti netralitas aparatur negara, penyalahgunaan program, anggaran daerah, profesionalitas penyelenggara pemilu.
Dalam paparannya, Yuda mengatakan bahwa konflik sosial terjadi karena sejumlah pemicu seperti isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)/politik identitas, isu tapal batas antar Kota/Kabupaten/Provinsi, proses rekapitulasi di PPS/PPK/Kota/Kabupaten/Provinsi, Pemungutan Suara Ulang (PSU), netralitas TNI/Polri/ASN/Pj Kepala Daerah, kampanye, provikasi medsos, proses pemungutan dan penghitungan di TPS, proses pendaftaran dan penetapan paslon, penetapan pemenang dan pelantikan Kepala Daerah terpilih, pemasangan dan penertiban APK/Baliho, dan lain-lain.
Melengkapi Yuda, Heri menjelaskan bahwa selain adanya pemicu, konflik sosial terpantik juga dapat terjadi karena sejumlah sebab seperti kecurangan, propaganda, manipulasi, polarisasi, dan ketidakpuasan.
Setelah peserta mendengar penjelasan Heri, Yuda kemudian memberikan penjelasan terkait langkah-langkah antisipasi dan mitigasi konflik sosial yang dilakukan oleh polri pada pilkada serentak 2024. Pertama, membuat mapping dan profiling potensi; kedua membuat IPKP (Indeks Potensi Kerawanan Pemilu)ketiga kerjsama dengan lembaga lain dalam bentuk Mou mauoun Lo; keempat mengoptimalkan NCS (National Coolling System) oleh Mabes Polri dan satuan kewilayahan; kelima melaksanakan operasi mantap praja serentak 2024; keenam pengelolaan media sosial bersama instansi terkait; serta ketujuh melaksanakan operasi kepolisian untuk mitigasi potensi konflik sosial pilkada pada 2024.
Menyambung dari penjelasan Yuda, Togap menyampaikan isu terkait potensi-potensi kerawanan pada tahapan pemilu dan pilkada. Misalnnya pada tahap penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), ditemukan pemilih ganda/fiktif/belum cukup umur, lalu pada tahap distribusi logistik, ditemukan keterlambatan logistik ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), perusakan/pencurian logistik pikada. Lalu pada tahap kampanye, terjadi kampanye hitam, penyalahgunaan fasilitas negara, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), teror, ancaman, dan intimidasi.
Di masa tenang, lanjut Togap, terjadi politik uang. kemudian di tahap pemungutan suara terjadi golput, bencana alam, aksi protes, politik uang, selanjutnya di tahap perhitungan dan rekap hasil pemungutan suara, terjadi perusakan, kekerasan untuk mengulur waktu, serta diwarnai juga dengan ancaman/intimidasi/teror. Di tahap akhir yakni di penetapan akhir dan hasil putusan MK, terjadi pemblokiran jalan, penolakan hasil putusan, dll.
Menutup diskusi Arya menuturkan bahwa perlu ada sinergi antara semua elemen Lembaga negara dalam proses pengarusutamaan nilai HAM dalam konteks Pilkada. Penekanan dalam penyelenggaraan pemilu yang adil dan bercorak demokratis dan HAM harus menjadi sebuah nilai yang dibawa sebagai sebuah langkah mendorong pencegahan konflik dan kekerasan yang terjadi selama proses penyelenggaraan pemilu.
Hak konstitusional dalam konteks Pemilu tentu bukan hanya hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) sebagaimana dijamin konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional. Melainkan pengarusutamaan HAM yang harus lebih substantif dan esensial, tukas Arya.
Merangkum hasil diskusi di atas, upaya-upaya antisipasi dan mitigasi terhadap potensi konflik sosial perlu menjadi perhatian. Melalui diskusi terfokus dan juga kerja sama dengan berbagai pihak, pelaksanaan Pilkada 2024 diharapkan dapat berjalan dengan jujur, adil, dan damai serta berperspektif HAM. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan Pilkada 2024 yang ramah hak asasi manusia.
Penulis : Feri Lubis
Editor : Liza Yolanda
Short link