Perjuangan untuk mengenyam pendidikan sudah
dikobarkan Ki Hadjar Dewantara sejak zaman kolonial Belanda, bahkan hingga saat
ini perjuangan para penerus Ki Hadjar Dewantara pun masih tetap berlanjut.
Eksklusifitas pendidikan yang sebelumnya hanya diperuntukan bagi anak-anak
keturunan Belanda dan kaum priyayi, berkat Bapak Pendidikan Nasional ini,
seluruh anak di Indonesia berkesempatan mengenyam bangku pendidikan.
Mirisnya peninggalan bersejarah milik Ki
Hadjar Dewantara yang berada di Museum Dewantara Kirti Griya mengalami
kerusakan akibat kerusuhan massa yang terjadi di jalan Tamansiswa, Kota
Yogyakarta, Minggu (04/06/2023). Padahal pembuatan museum itu merupakan cita-cita Ki Hadjar
Dewantara yang didirikan sejak 2 Mei 1970.
Pemerintah Indonesia sendiri memperingati Hari
Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya. Peringatan
tahunan ini bertepatan dengan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara yang ditetapkan melalui
Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 sebagai hari nasional yang
bukan hari libur.
HARDIKNAS telah 64 kali diperingati, namun masih
berjejer rintangan yang mengganjal dunia pendidikan di Indonesia. HARDIKNAS
seharusnya dapat dijadikan momentum bagi pemerintah, para pendidik, peserta didik,
dan semua pihak yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia untuk memajukan
dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang dapat merangkul
seluruh peserta didik tanpa terkecuali. Sayangnya, standar pendidikan di
Indonesia tidak sepenuhnya sama. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM),
fasilitas hingga kondisi geografis atau lingkungan menjadi salah satu
kendalanya.
Indonesia yang diberkahi dengan ribuan pulau dan menjadi
salah satu negara kepulauan terbesar di dunia justru menjadi tantangan dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Tidak meratanya infrastruktur dan SDM yang
memadai menjadi salah satu masalahnya. Hal ini berpengaruh kepada kualitas
pendidikan yang tidak merata antara satu daerah dengan daerah lainnya, sehingga
kesenjangan pun terjadi.
Kesenjangan informasi misalnya, terjadi paparan informasi
yang berbeda antara guru atau pendidik dan peserta didik yang tinggal kota
dengan yang tinggal di daerah pedalaman. Tentu saja informasi di perkotaan
lebih cepat didapat karena didukung jaringan komunikasi yang menjangkau dan ini
berbanding terbalik dengan keadaan di daerah pedalaman. Mereka yang tinggal di
daerah mengalami perlambatan perolehan komunikasi karena terhambat soal letak
geografis yang tidak mendukung dengan jaringan yang mumpuni.
Selain infrastruktur jaringan, infrastruktur berupa akses
jalan dan gedung sekolah pun terlihat perbedaan yang signifikan antara di
perkotaan dan di daerah pedalaman. Sekolah di perkotaan dapat dengan mudah
ditemui, sedangkan sekolah di daerah pedalaman jarang dan sulit dijangkau
dengan akses jalan yang sulit.
Kesulitan dan ketidakterjangkauan pendidikan akan berkali
lipat untuk para pendidik dan peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Keberadaan sekolah luar biasa (SLB) atau sekolah inklusi yang masih terbatas, lokasi
yang jauh, dan daya tampung yang sedikit menjadi kendalanya.
Ini baru sekelumit permasalahan yang harus dihadapi dan
diselesaikan para penerus Ki Hadjar Dewantara. Jangan sampai anak-anak
Indonesia tidak bisa menikmati hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 60 ayat (1)
menjamin “setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya.”
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemdikbudristek), pada tahun ajaran 2020/2021 di tingkatan SD, SMP,
SMA, dan SMK negeri maupun swasta di seluruh Indonesia tercatat sekitar 83,7
ribu anak putus sekolah. Paling banyak berada di Jawa Barat 10.884 orang,
sedangkan paling sedikit ada di Bali 285 orang.
Bahkan dalam undang-undang yang sama di pasal 54 menyebutkan
“Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin
kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya
diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara.” Undang-undang ini secara jelas menjamin pendidikan anak-anak
Indonesia, sehingga seyogyanya pendidikan di Indonesia inklusif untuk semua
anak tanpa terkecuali.
Penulis:
Andri Ratih
Editor:
Banu Abdillah
Short link