Kabar Latuharhary – Masyarakat dunia memperingati Hari Down Syndrome Sedunia setiap
tanggal 21 Maret. Tindakan-tindakan diskriminatif masih menyelimuti para
penyandang Down Syndrome, karena mereka dianggap tidak berpotensi sehingga
minim pelibatan dalam berbagai sektor. Ketidaktahuan dan kurangnya informasi
terkait Down Syndrome disinyalir menjadi akar masalahnya.
Bidang Penyuluhan Komnas HAM
menghadiri undangan Seminar Nasional Disabilitas Down Syndrome yang diselenggarakan
oleh NLR Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (21/03/2023).
Seminar ini menyuguhkan hasil studi evaluasi
dari pelaksanaan proyek Down Syndrome (DS) yang telah dilaksanakan oleh
NLR Indonesia dari 2018 hingga 2022 di Pontianak, Karo, Solo, Boyolali, Timor
Tengah Utara, Manggarai Barat, Manggarai, dan Ambon. Pada pelaksanaannya, masih
ditemui orang tua yang tidak mengakui anaknya yang menyandang Down Syndrome,
bahkan ada yang menganggapnya kutukan dan aib yang harus ditutupi.
“Masih ada orang tua yang mengurung
hingga tidak mencantumkannya di dalam kartu keluarga, ini bukan problem orang
di desa saja tetapi juga di perkotaan,” ungkap Dominggus Elcid Li salah satu
peneliti yang terjun langsung ke lapangan.
Selama pelaksanaan proyek, tidak
hanya ibu yang didampingi dan diberikan informasi terkait Down Syndrome,
namun bapak juga dipaparkan untuk dapat menerima anaknya sendiri. Anak dan
remaja dengan Down Syndrome pun diberikan pendampingan, terapi, dan
stimulus selama 5 tahun, hasilnya memperlihatkan adanya perubahan perilaku yang
berdampak positif.
Eliza Octavianti Rogi, Ketua
Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) yang menjadi
salah satu penanggap dalam seminar ini pun mengungkapkan jika anak dengan Down
Syndrome semakin banyak mendapatkan terapi dan stimulus maka
perkembangannya semakin meningkat. Sayangnya, masih banyak rintangan-rintangan
yang harus dihadapi orang tua dan anak dengan Down Syndrome.
Menurut Eliza, anak dengan Down Syndrome
bisa mendapatkan terapi dan stimulus di klinik tumbuh kembang anak dengan BPJS
Kesehatan, namun terbatas hanya dua kali dalam seminggu. Salah satu upaya lain
untuk meningkatkan perkembangan anak dengan Down Syndrome yaitu melalui Sekolah
Luar Biasa (SLB) atau sekolah inklusi, namun keberadaannya masih terbatas,
lokasi yang jauh, dan daya tampung yang sedikit.
Pilihan lainnya adalah dengan home
schooling untuk anak dengan Down Syndrome, namun akses ini terbatas
hanya kepada keluarga yang mampu. Terapis yang terbatas, biaya yang mahal dan
tidak terjangkau menyebabkan anak dengan Down Syndrome banyak yang putus
atau pun tidak bersekolah. Anak dengan Down Syndrome yang mampu mengenyam
pendidikan pun masih tersandung kendala yaitu sulit mendapatkan lapangan
pekerjaan.
Berdasarkan data di lapangan, anak dengan Down Syndrome memiliki ketertarikan pada keterampilan, jika diasah akan memunculkan bakat mereka, menjadikan mereka mandiri, dan mereka bisa ikut serta dalam berbagai kesempatan. Nabila dan Arya siswa dari SLB Karanganyar contohnya, mereka anak dengan Down Syndrome yang senang dan tertarik dengan seni tari. Pada kesempatan ini mereka menjadi pembuka seminar dengan membawakan tarian Bambangan Cakil.
Penulis: Andri Ratih
Editor: Banu Abdillah
Foto: NLR Indonesia
Short link