Komnas HAM menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembela Hak Asasi Manusia di
Bogor (7-8/12/2023).
Kolaborasi antara Komnas HAM, Sajogjo Institute dan The Samdhana Institute
ini terfokus terhadap pelindungan kelompok Pembela HAM.
Perhatian terhadap Pembela HAM telah dimulai sejak 1990an dan PBB telah
mengadopsi Deklarasi Human Rights Defender pada Desember 1998. Untuk
implementasinya, Komnas HAM menginisiasi pertemuan puncak dengan melibatkan
pemerhati, aktivis, kementerian, lembaga dan berbagai pemangku kepentingan
lainnya khususnya di sektor pembela HAM dalam rangkaian peringatan Hari HAM
pada 10 Desember.
"Konferensi ini melahirkan rumusan Deklarasi Bogor sehingga dapat
menjadi tonggak pelindungan hak asasi manusia Pembela HAM dan menjadi semangat
dalam kerja-kerja pemajuan dan perlindungan HAM," ujar Watua Eksternal
Komnas HAM Abdul Haris Semendawai.
Selain menjadi forum diskusi, konferensi ini menjadi peletak komitmen
antara Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komnas
Perempuan. Ketiga lembaga melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Mekanisme
Respons Cepat untuk Pelindungan Pembela HAM.
Mekanisme respons cepat bagi Pembela HAM diharapkan dapat
mengisi ruang kosong penanganan, pemulihan dan kebijakan operasional
pelindungan serta pemenuhan hak-hak pembela HAM yang inklusif serta mendorong para Pembela HAM
untuk terus berkontribusi dalam pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia.
Komitmen kerja sama lainnya diwujudkan melalui Nota Kesepahaman antara
Komnas HAM dan Sajogyo Institute tentang Penanganan Pelindungan bagi Para
Pembela HAM. Selanjutnya disusul dengan konferensi pers.
Usai seremonial penandatanganan, sesi diskusi bertema "Peran dan
Tanggung Jawab Negara terkait Pembela HAM"
menghadirkan narasumber Komisioner Pengaduan Komnas HAM Hari Kurniawan,
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar
dan Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tasdiyanto Rohadi.
Hari Kurniawan menjelaskan mengenai hak-hak Pembela HAM serta situasi
kerentanan dan ancaman yang dialami oleh mereka. Upaya yang dilakukan Komnas
HAM dalam pelindungan Pembela HAM, antara lain menerima dan menangani pengaduan
Pembela HAM, melakukan pemantauan, mediasi, dan penyelidikan proyustisia atas
Pembela HAM, pengkajian, penelitian, dan penyuluhan tentang Pembela HAM,
menetapkan Peraturan Komnas HAM No. 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Pelindungan
terhadap Pembela HAM, menyusun Standar Norma dan Pengaturan Nomor 6 tentang
Pembela HAM yang diapresiasi dalam Sidang Universal
Periodic Review PBB Sesi Ke-Empat 2022), menginisiasi tanggal 7 September
sebagai Hari Pelindungan Pembela HAM
Indonesia serta mengusulkannya kepada
Presiden untuk ditetapkan sebagai hari nasional, dan membangun Pusat
Sumber Daya HAM Nasional (Pusdahamnas)
sebagai sistem informasi untuk
mengkonsolidasikan sumber daya HAM nasional.
Hari juga mengungkapkan Komnas HAM bersama Komnas Perempuan dan LPSK saat
ini berupaya mewujudkan Mekanisme
Respons Cepat oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK untuk Pelindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Pembela HAM yang Inklusif.
Pembukaan dan sesi diskusi ini dihadiri Wakil Ketua Internal Komnas HAM
Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Saurlin P Siagian,
Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Esrom Hamonangan P, Kepala Biro Hukum Humas
dan Kerja Sama Gatot Ristanto dan jajaran unit kerja terkait. Hadir pula Ketua
KPAI Ai Maryati, Tenaga Ahli KSP Mugiyanto, Focal Point Technical Cooperation
in Indonesia Representative OHCHR Arnaud Chaltin, serta perwakilan institusi
kementerian lembaga dan organisasi HAM.
Sesi diskusi kedua bertema "HRD dan Kebebasan Berekspresi" dengan
narasumber Wakil Ketua Internal Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner
Komnas Disabilitas Kikin Tarigan dan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika
Pers Dewan Pers Yadi Hendriana.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu ciri negara
demokratis dan diperlukan sebagai kontrol publik atas penyelenggaraan negara.
Pramono menjelaskan mengenai Standar Norma dan Pengaturan (SNP) yang
dikeluarkan Komnas HAM mengenai Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dan SNP
tentang Pembela HAM. Pada kesempatan ini Komnas HAM juga menyampaikan Buku SNP
tentang Pembela HAM kepada Komisi Nasional Disabilitas dan Dewan Pers.
Pada pelaksanaan hari kedua, Konferensi menyuguhkan tiga panel diskusi
dengan tema beragam. Adapun tema diskusi panel tersebut adalah : (1) Masyarakat
Adat dan Disabilitas; (2) Perempuan, Anak dan Pekerja Migran; dan (3)
Lingkungan dan Agraria.
Komisioner Putu Elvina menjadi menjadi salah satu narasumber di sesi panel
“Perempuan, Anak dan Pekerja Migran”. Dalam sesi ini ketiadaan perangkat hukum
menjadi perhatian bagi pelindungan para pembela HAM di Indonesia. Tiga
narasumber yang terdiri dari Putu Elvina (Komnas HAM), Dian Sasmita (KPAI), dan
Siti Badriah (Migrant Care) dalam diskusi bertema “Perempuan, Anak dan
Pekerja Migran” mendorong beberapa hal penting.
Putu Elvina menilai, peraturan yang ada saat ini masih bersifat sektoral,
misalnya UU Perlindungan dan Pengelolaan Linkungan Hidup, UU Advokat dan UU
Pers. Disamping itu, terdapat permasalahan terkait pola pikir dan paradigma
penegak hukum yang bersifat sangat legalistik dan tekstual dan belum
kontekstual. Pembela HAM juga masih dianggap sebagai ancaman dalam pembengunan
bukan partner kritis dalam pembangunan.
Ia menekankan tentang pentingnya membangun ketahanan pembela HAM melalui
cara berjejaring, melakukan peningkatan kapasitas dan kapabilitas, melakukan
advokasi kebijakan, dialog kebijkan dengan penyelenggara negara dan aktif dalam
memanfaatkan mekanisme HAM regional dan internasional, serta mobilisasi sumber
daya internal dan eksternal.
Pembela HAM perempuan juga dianggap menjadi pihak yang lebih rentan,
sehingga perlu adanya ruang aman yang mendukung dari lingkup yang paling
kecil dan paling dekat dengan dirinya. Selanjutnya, jaringan harus memperkuat
kerja para pembela HAM perempuan.
Penting juga adanya pendataan dan dokumentasi terkait gerakan para pembela
HAM perempuan untuk mempermudah mitigasi dari ancaman kriminalisasi. “Penting
untuk mendefinisikan kembali tentang pembela HAM, sehingga premisnya menjadi
sama dengan aparat pemerintah,” pungkas Putu Elvina.
Para narasumber juga sepakat bahwa advokasi kepada semua pihak terkait
pentingnya mendorong pembentukan perangkat hukum yang dapat melindungi secara
khusus para pembela HAM harus dilakukan.
Sementara itu, Komisioner Penelitian dan Pengkajian Saurlin P. Siagian
menjadi salah satu narasumber di sesi panel bertema "Lingkungan dan
Agraria", bersama narasumber lain yaitu Direktur The Samdhana Institute
Martua Sirait, dan aktivis WALHI Teo Reffelsen.
Saurlin menyampaikan pentingnya restorative justice dalam kasus-kasus
agraria di Indonesia dan menurutnya perlu adanya kajian bersama dengan
kepolisian terkait kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia, sehingga tidak
ada lagi para Pembela HAM yang dikriminalisasi karena menyuarakan dan membela
lingkungan hidup. Di akhir sesi ini Komnas HAM menyampaikan buku Standar Norma
dan Pengaturan tentang Pembela HAM kepada The Samdhana Institute dan WALHIPeserta
yang hadir beragam dari organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi bidang
lingkungan dan agraria.
Sementara panel bertema “Masyarakat Adat dan Disabilitas” dihadiri oleh narasumber
yang terdiri dari Komisioner Pengaduan Komnas HAM Hari Kurniawan, Koordinator Divisi
Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat Fatum Ade dan Aktivis Perhimpunan Pembela
Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Jimmy Ginting. "Komnas HAM telah
memiliki mekanisme pemberian surat perlindungan sebagai langkah awal dan
konkrit bentuk perlindungan bagi para Pembela HAM," ungkap Hari.
Hari juga menjelaskan kerentanan yang menimpa Pembela HAM dengan
Disabilitas yaitu stigma dan stereotipe sehingga dianggap tidak cakap menjadi
Pembela HAM, masih adanya praktik perundungan, masih adanya 114 peraturan
perundangan yang belum diharmonisasi dengan UU No. 8/2016 tentang Penyandang
Disabilitas, rawan mendapatkan tindakan kriminalisasi dan diskriminasi
dikarenakan kedisabilitasannya, tidak mendapatkan perlindungan hukum karena dianggap
tidak cakap hukum, proses pemulihan hukum tidak berjalan dengan baik, dan tidak
diberikan ruang dan waktu untuk berbicara.
Peserta yang hadir berasal dari organisasi masyarakat sipil yang
mengadvokasi bidang disabilitas dan masyarakat adat. Komnas HAM dalam panel ini
menyerahkan Buku Standar Norma dan Pengaturan tentang Pembela HAM kepada
Perhimpunan Jiwa Sehat dan PPMAN.
Selanjutnya diskusi dilanjutkan dengan merumuskan bersama deklarasi pembela
HAM yang akan disampaikan kepada pemerintah.
Short link