Jakarta - Kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam Pemilu menjadi bagian dari penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia.
“Menghormati artinya mengakui, Undang-Undang sudah mengatakan perempuan mendapatkan 30% kuota. Memenuhi maka KPU berkewajiban untuk memastikan bahwa 30% pencalonan terwujud. Melindungi, apabila terjadi capaian yang diwajibkan Undang-Undang untuk mencalonkan minimal 30% sebagai calon legislatif tidak terpenuhi, maka dalam hal ini misalnya Bawaslu bertugas untuk melindungi hal tersebut dengan melakukan persidangan seperti hari ini,” ungkap Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro di Ruang Sidang Kantor Bawaslu Jakarta Pusat, Kamis (23/11/2023).
Kehadiran Atnike sebagai saksi ahli dalam sidang pemeriksaan lanjutan dugaan pelanggaran administratif Pemilu yang dilaporkan oleh Koalisi Perempuan Indonesia. Kasus dengan nomor registrasi 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 terkait Daftar Calon Tetap Anggota (DCT) DPR RI yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 %. Sidang dipimpin oleh Majelis Pemeriksa yang diketuai oleh Puadi dan beranggotakan Lolly Suhenti dan Totok Hariyono.
Atnike juga menjelaskan bahwa KPU dan Bawaslu sebagai badan penyelenggara Pemilu dalam prinsip hak asasi manusia bertanggung jawab sebagai penanggung jawab hak asasi (duty bearer). Kedua lembaga negara ini berkewajiban melaksanakan kebijakan yang diatur di dalam undang-undang.
“Jika suatu lembaga negara tidak melakukan apa yang diatur berdasarkan undang-undang, maka ia telah melakukan pelanggaran hukum. Tetapi dalam hak asasi, ketika akibat pelanggaran undang-undang yang diamanatkan menyebabkan hilangnya hak asasi seseorang atau sekelompok orang maka dia dapat dikatakan melanggar hak asasi,” jelas Atnike sekaligus menjawab pertanyaan pelapor Titi Anggraini terkait penetapan 266 Daftar Calon Tetap dengan persentase keterwakilan perempuan kurang dari 30 %.
Kebijakan bisa berpotensi menjadi pelanggaran HAM akibat situasi sosial yang tidak mendukung hasilnya. Substansi kebijakan juga bisa melanggar, jelas Atnike, apabila dibuat kebijakan yang kemudian terbukti menyebabkan hilangnya hak asasi seseorang atau sekelompok orang.
“Saya yakin tidak ada lembaga negara yang secara sengaja, mau melanggar hak asasi. Tetapi akibat kebijakannya, dia tidak menghitung ketika kebijakan itu dibuat, dalam hal ini partai politik memilih easy way (jalan mudah) karena aturan yang ada tidak cukup mengikat atau encourage (mendukung) mereka untuk melakukan langkah-langkah kebijakan afirmasi untuk mendorong keterwakilan perempuan,” jelas Atnike.
Ketika perundang-undangan menyebutkan kuota 30 % keterwakilan perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif tidak terwujud, jelas Atnike, maka negara telah melakukan pelanggaran akibat gagal memenuhi hak perempuan untuk menjadi anggota legislatif.
Mengenai kebijakan afirmasi, selain prinsip non-diskriminasi, di dalam hak asasi manusia juga mengenal prinsip afirmasi. Hak asasi manusia juga mengenal prinsip afirmasi yang muncul dengan melihat fakta-fakta sosial di berbagai negara.
Bukan hanya di Indonesia, ada kelompok-kelompok di masyarakat yang akibat ketimpangan sosial selama berabad-abad secara historis telah menyebabkan posisi mereka di masyarakat menjadi lebih rendah secara status sosial, status ekonomi, sehingga mereka memiliki kesempatan-kesempatan untuk menikmati hak asasi yang lebih sedikit dibanding manusia lain. Salah satu kelompok yang mengalami ketimpangan itu adalah perempuan.
“Dalam kehidupan sosial ekonomi, secara ekonomi banyak perempuan yang status ekonominya lebih rendah dibanding laki-laki. Demikian halnya dalam kehidupan politik, perempuan yang duduk dalam kursi politik, struktur utama pimpinan-pimpinan politik lebih sedikit dibanding laki-laki," jelas Atnike.
Sejalan dengan Indonesia yang sudah mengadopsi prinsip hak asasi manusia ke dalam konstitusi maupun dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Pemilu, terdapat pula di dalamnya kebijakan afirmasi. Tidak hanya perempuan yang mendapat kebijakan afirmasi, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia disebutkan kelompok rentan yaitu perempuan, lansia, penyandang disabilitas dan masyarakat hukum adat.
Selain Komnas HAM, Pelapor juga menghadirkan Komnas Perempuan yang diwakili oleh Komisioner Siti Aminah Tardi untuk menjadi saksi ahli dalam sidang pemeriksaan ini. (AAP/IW)
Short link