(Jakarta) Pada 16 November
2023, Bagian Dukungan Penyuluhan Komnas HAM yang diwakilkan oleh Rebeca Amelia
Susanto, Rr Niken Sitoresmi dan Feri Lubis menghadiri undangan nonton bareng
film Budi Pekerti yang diadakan oleh Siberkreasi dan Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) yang diselenggarakan di
bioskop CGV Mall FX, Jakarta.
Kehadiran Komnas HAM dalam acara
ini dirasa penting karena selain mendukung dunia perfilman Indonesia namun juga
karena film yang mendapat 17 nominasi Festival Film Indonesia (FFI) ini sarat
dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) terutama dalam dunia online yang
sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Film ini disutradarai oleh
Wregas Bhanuteja yang sebelumnya telah sukses dengan Film Penyalin Cahaya dan
juga menjadi narasumber Diskusi
Tanggap Rasa “Kisah Manusia dalam Film Indonesia” pada tahun 2020.
Budi Pekerti berkisah tentang Bu
Prani, seorang guru Bimbingan dan Konseling (BK) yang terlibat perselisihan
dengan seorang laki-laki yang menyerobot antrean kue putu di pasar. Video
perselisihan tersebut viral di media sosial dan yang terlihat tidak seperti
kejadian sebenarnya, sehingga Bu Prani terancam kehilangan pekerjaan. Selain
dikucilkan di dunia maya, Bu Prani juga mendapat perlakuan kurang menyenangkan
dari masyarakat sekitar dan pihak sekolah.
Cancel culture adalah
praktik memboikot seseorang secara massal. Hal ini biasanya dilakukan jika
orang tersebut melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak pantas
atau menyinggung. Praktik ini juga biasanya diikuti dengan pemberhentian
dukungan kepada orang tersebut.
Cancel culture merupakan
fenomena sosial yang terjadi seiring perkembangan dunia daring. Terkenal
pertama kali saat terjadi kasus seorang produser Harvei Weinsten yang melakukan
pelecehan seksual. Bisa dilihat awal tujuan gerakan ini baik namun seiring
berjalannya waktu banyak yang salah kaprah dalam memahami cancel culture,
tidak hanya diberlakukan pada tokoh terkenal namun kepada orang biasa seperti
Ibu Prani, padahal pelakunya belum tentu mengenal korban dari cancel culture
ini. Bahayanya lagi dilakukan tanpa melakukan kroscek alias main hakim sendiri
tanpa melalui proses peradilan. Padahal belum tentu mengenal orang yang diboikot
secara langsung.
Selain mengancam karir dan masa
depan korban dan keluarga, hal ini dapat merusak mental karena korban bisa merasa
tidak berguna bahkan yang terburuk bisa mengakibatkan bunuh diri. Sifat manusia-manusia
dalam film ini pun digambarkan sangat natural sesuai fakta realita di sekitar
kita, dalam berinteraksi dengan Bu Prani. Tidak ada yang benar-benar baik,
semua punya kepentingan termasuk keluarga terdekat sekalipun. Semuanya
mempengaruhi psikis dan mental Bu Prani.
Bu Prani pun seolah juga “refleksi”
dengan istilah Budi Pekerti ini, iya tidak mau mengorbankan orang lain hanya
untuk kepentingannya semata walau itu menyangkut karir dan nama baiknya.
Adegannya begitu magis saat ia didukung oleh orang-orang yang tidak disangka
akan datang untuk menghibur walau tak bisa banyak membantu. Meski demikian martabat
Ibu Prani seolah dikembalikan ke tempatnya.
Akhir dari film juga sangat
membumi, tidak menjual kesedihan tragis ataupun happy ending yang
melayang membuat orang bermimpi. Tidak ada yang menang atau kalah dalam hidup
namun yang ada adalah berani menjalani dan ikhlas dengan situasi yang ada.
Demikian hakikat sebenarnya dari martabat manusia. Adegan makan bakso di akhir juga
menggambarkan seburuk dan sebaiknya keluarga akan tetap ada dan saling
membersamai. Inilah yang menjadi kekuatan Bu Prani menjalani hidup yang baru di
saat sepertinya sudah tidak ada jalan.
Seluruh jajaran pemain bermain
dengan sangat pas dengan performa terbaik, tidak heran film ini mendapatkan 2
piala Citra untuk Pemeran Utama Perempuan Terbaik (Sya Ine Febriyanti) dan
Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik (Prilly Latuconsina). Wregas pun patut
berbangga filmnya mendapat banyak nominasi FFI karena memang mampu membawa
penonton pada naik turunnya emosi keluarga Bu Prani, juga tersampaikan kekhawatiran
efek cancel culture yang bisa saja menimpa siapa saja termasuk kita.
Kami juga turut mengapresiasi dunia
perfilman Indonesia selain semakin bergairah namun juga semakin sensitif dengan
isu HAM. Ini bisa dilihat dengan 5 nominasi Film Cerita Panjang Terbaik FFI
yakni: 24 Jam Bersama Gaspar (di novelnya mengangkat pedofilia), Like
& Share (kekerasan seksual dan KBGO), Sleep Call (kesehatan
mental), Women from Rote Island (Pemenang FFI yang mengangkat isu
gender, kekerasan seksual di daerah dan perdagangan manusia), dan Budi
Pekerti sendiri yang semuanya mengangkat fenomena permasalahan sosial
masyarakat.
Hakikatnya HAM bersifat kodrati
dan melekat pada setiap manusia, jadi pelaku kejahatan sekalipun memilikinya.
Batas HAM sendiri adalah HAM orang lain sehingga tidak boleh mengganggu HAM
orang lain, justru sebaliknya setiap individu harus menghormati HAM individu
lain. Negara pun wajib memenuhi, menghormati dan melindunginya. Jadi patut
disimpulkan cancel culture yang melanggar HAM seseorang tidak patut
dilakukan. Mari kita ciptakan dunia tanpa diskriminasi dan main hakim sendiri.
Penulis : Rebeca Amelia Susanto
Editor : Banu Abdillah
Short link