Bali – Peningkatan kejahatan yang melibatkan anak yang terjadi belakangan ini. Kondisi tersebut membutuhkan penanggulangan problematika anak yang efektif dalam berbagai perspektif.
"Pada saat membicarakan penanggulangan, ini menjadi motivasi, semangat dan target kita semua untuk mempersiapkan generasi kita. Apalagi kita dihadapkan dengan bonus demografi. Ketika kita gagal menyiapkan generasi penerus bangsa maka kita akan kehilangan bonus demografi. Kemandirian mereka nantinya akan menentukan kerja-kerja kita dalam pelindungan anak membuahkan hasil yang positif atau tidak," ungkap Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina menjadi pembicara dalam Seminar Nasional "Penanggulangan Kenakalan Anak dari Berbagai Perspektif" yang diselenggarakan Program Studi Doktoral Fakultas Hukum Universitas Udayana secara daring, Rabu (15/11/2023).
Melalui paparan mengenai Penanggulangan Kenakalan Remaja dalam Perspektif HAM, Putu menjelaskan, hak asasi manusia tidak hanya khusus untuk orang dewasa, orang yang mengerti hukum, orang yang sudah bisa mempertanggungjawabkan hukum, tidak hanya untuk orang-orang tertentu, tidak hanya untuk golongan tertentu, namun termasuk di dalamnya untuk usia anak.
Posisi Negara dalam konteks hak asasi manusia menjadi penanggung jawab tegaknya hak asasi manusia (duty bearer) bagi setiap orang hingga hak asasi manusia anak. Upaya pelindungan anak ditegaskan berupa kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
"Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah,dan pemerintah daerah. Kalau kita tidak melakukan upaya memastikan terjaminnya hak-hak mereka, kita menjadi pelanggar HAM. Karena di undang-undang berbunyi wajib. Sehingga mau tidak mau kita tidak bisa mengatakan itu bukan urusan saya, itu bukan anak saya dan lain sebagainya, karena itu merupakan bagian dari hak asasi manusia yang sudah digariskan dalam konstitusional," terang Putu.
Tanggung jawab negara terkait upaya agar kehidupan anak-anak terjamin dan terlindungi hak-hak anak, termasuk dengan anak dengan status anak yang berhadapan dengan hukum.
Khusus soal anak dengan status "Anak Berhadapan dengan Hukum", Putu menyorot penerapan pendekatan keadilan restoratif berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Keadilan Restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama- sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam paparan Putu, wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, meliputi penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Putu menegaskan bahwa program-program yang bernuansa rehabilitatif justru akan lebih baik menjadi penanggulangan kekerasan pada anak daripada pola-pola mekanisme penghukuman yang sifatnya penghukuman badan termasuk kurungan. (AAP/IW)
Short link