Jakarta - Komnas HAM memberi perhatian serius terhadap perlindungan hak-hak kelompok rentan, termasuk didalamnya kelompok disabilitas mental yang ditangani Negara di panti-panti sosial.
“Berbagai bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya tidak boleh dikenakan terhadap penyandang disabilitas mental. Negara harus melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk menghapuskan stigma terhadap penyandang disabilitas mental,” jelas Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing saat menjadi narasumber dalam Seminar International dengan judul "Penyiksaan Yang Tersembunyi: Kondisi Institusionalisasi Penyandang Disabilitas di Indonesia", yang diselenggarakan Perhimpunan Jiwa Sehat bersama dengan Human Rights Watch, Transforming Communities for Inclusion Global secara hybrid dari Gedung Smesco Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Kondisi panti-panti rehabilitasi turut menjadi sorotan karena banyak kasus yang dialami penyandang disabilitas mental terkait perlakuan tidak manusiawi, kondisi tidak layak dan memprihatinkan serta pemasungan. Mencermati itu, Komnas HAM telah merilis Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 10 tentang Hak Untuk Bebas dari Penyiksaan,Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam,Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. SNP ini, menurut Uli, dapat menjadi pegangan dan referensi bagi para pembuat kebijakan maupun pemangku kepentingan terkait isu penyiksaan,perlakuan atau penghukuman yang kejam,tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
Dalam SNP ini juga memuat kondisi di panti sosial, seperti kondisi yang tidak layak, pemasungan dan sebagainya.
Pemasungan, dijelaskan Uli, merupakan perlakuan yang tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia. “Pemasungan dapat dianggap sebagai penyiksaan ketika tindakan sengaja tersebut mengakibatkan penderitaan yang berat dengan tujuan mendiskriminasi yang dilakukan atas pengetahuan aparat Negara,” kata Uli.
Penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia tidak hanya dapat dilakukan di tahanan, tapi juga di luar penjara termasuk panti sosial. Terkait kondisi panti sosial, Uli menekankan perlu dilakukan pengawasan khusus karena belum ada standar kelayakan panti sosial, baik dari sisi standar penahanan maupun sarana prasarna medis.
Stigma terhadap penyandang disabilitas mental juga menjadi akar permasalahan. “Harus ada perubahan perspektif kita, siapa saja, terhadap mental disability. Harus dimulai dan terus dilakukan untuk menghapus stigma,” ungkap Uli.
Upaya pemulihan baik akses kesehatan, pendidikan dan kelanjutan hidup para penyandang disabilitas mental pun perlu diperjuangkan. Komnas HAM memiliki mekanisme monitoring dan pengawasan terkait regulasi beserta koordinasi dengan lembaga terkait, seperti Komnas Perempuan, KPAI, dan Komisi Nasional Disabilitas.
“Negara harus memastikan bahwa tidak boleh ada pelanggaran HAM apalagi penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi terhadap mental disability di panti-panti sosial,” jelas Uli.
Narasumber lain dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 ini antara lain Ketua PJS Yeni Rosa Damayanti, Aktivis HAM Haris Azhar, Kristi Sharma (Human Rights Watch-New York), Activist Validity Foundation Hungaria Steven Allen.
Dalam seminar ini, disampaikan juga pandangan dari salah satu penyandang disabilitas mental bernama Hibat (24) yang menjelaskan perlakuan yang diterimanya di panti rehabilitasi sosial.(AAP/IW)
Short link