Situbondo-Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak kelompok rentan, minoritas dan marjinal menjadi salah satu isu prioritas sehingga muncul sejumlah rekomendasi dari Komnas HAM.
“Pemerintah harus memperkuat pengarusutaman HAM bagi kelompok marjinal dan minoritas, yaitu di antaranya penyandang disabilitas, pekerja migran, perempuan, pekerja rumah tangga, anak, lansia, masyarakat adat dalam penghormatan, pelindungan, pemenuhan hak-hak mereka,” jelas Anggota Komnas HAM Hari Kurniawan saat menjadi narasumber Publicness Forum “Membangun Ruang Publik yang Inklusif: Kesempatan Kerja bagi Disabilitas” yang diselenggarakan secara daring oleh Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Senin (31/7/2023).
Hari juga mendorong pemerintah untuk secara serius mengambil langkah-langkah strategis dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Hari turut meminta pemerintah dan DPR RI agar mempercepat ratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional antara lain OPCAT, OPCRPD, Konvensi ILO 188, Konvensi ILO 189, pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, serta RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga.
Komitmen Komnas HAM dalam memastikan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan kelompok rentan, khususnya disabilitas, salah satunya dilakukan dengan menyusun sebuah kajian. “Di internal Komnas HAM sendiri, kami lagi menyusun kajian terkait ketenagakerjaan inklusif disabilitas yang nantinya tentu akan melibatkan teman-teman organisasi penyandang disabilitas,” terang Hari.
Rekomendasi tersebut muncul dari dinamika di lingkungan sosial, mulai dari adanya diskriminasi, marjinalisasi serta stigma negatif yang dialami oleh kelompok disabilitas. “Banyak sekali terjadi diskriminasi. Bahkan saya sendiri ini dulu adalah korban,” urai Hari.
Medio 2000, ia susah mendapatkan pekerjaan karena kondisi fisiknya. Stigma marjinalisasi terhadap kelompok disabilitas juga terjadi dan membuat mereka makin terpinggirkan serta terlupakan untuk dipenuhi hak-hak dasarnya.
Selain itu, Hari turut menyoroti temuan di lapangan mengenai kelompok disabilitas yang bekerja di sektor informal tidak mendapatkan BJPS Ketenagakerjaan. Rezim ketenagakerjaan di Indonesia masih mengganggap kelompok disabilitas tidak punya kemampuan dan dianggap tidak sehat.
“Itu terbukti ketika kemarin rame-ramenya P3K yang mana KemenPANRB memunculkan syarat P3K yang masih tertuang sehat jasmani dan rohani tanpa ada penjelasan syarat tersebut merujuk kepada disabilitas atau tidak,” ucap Hari.
Disinilah letak pentingnya pemenuhan hak-hak disabilitas karena tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin dirinya mengalami disabilitas dan mereka tinggal di lingkungan sekitar. Estimasi World Health Organization (WHO) memerlihatkan bahwa saat ini, 25% dari jumlah penduduk bisa mengalami disabilitas karena bencana alam, penyakit, kemudian karena kecelakaan, apalagi sekarang krisis iklim yang kemudian bencana dimana-mana yang menyebabkan seseorang menjadi disabilitas.
Sedangkan data United Nations Development Program (UNDP) memerlihatkan 80% masyarakat dengan disabilitas tinggal di negara sedang berkembang yang tidak/ kurang mendapatkan akses terhadap layanan dan sarana publik
Dalam konteks ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas, Hari memberikan beberapa rekomendasi. “Yang pertama adalah Adanya Pelibatan Disabilitas dalam Pembuatan Rencana Aksi Daerah Disabilitas sebagai upaya Optimalisasi PP Nomor 70 Tahun 2019. Kemudian pembuatan Peraturan Daerah sebagai Turunan dari PP Nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas,” terang Hari.
Adanya mekanisme Punish and Reward dalam pemenuhan Kuota 2% dan 1 %, pembukaan lowongan pekerjaan pada Industri padat Karya Bagi Penyandang Disabilitas serta kepastian jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja disabilitas di sektor formal dan informal menjadi rekomendasi yang turut disampaikan oleh Hari. (AM/IW)
Short link