Jakarta-Empat Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) berkomitmen melakukan koordinasi tentang pemantauan, pencegahan, dan penanganan korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) melalui sejumlah kegiatan.
“Bagi Komnas HAM mendorong pemantauan kekerasan seksual yang bisa terjadi pada siapa saja. Komnas HAM juga memiliki tanggung jawab untuk memantau TPKS karena merupakan pelanggaran HAM dengan cara berkoordinasi bersama tiga LNHAM lainnya,” jelas Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, dalam Peringatan Satu Tahun UU TPKS di Graha Cawang Kencana, Kamis (11/5/2023).
Bentuk koordinasi dan pemantauan keempat lembaga, menurut Atnike, dilakukan secara mandiri maupun bersama jika dibutuhkan. Ia meyakini implementasi UU TPKS dilaksanakan secara efektif dan mencegah TPKS terulang melalui komitmen kerja sama LNHAM.
Komitmen tersebut diwujudkan melalui Kesepakatan Bersama antara Komnas HAM, Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) tentang Koordinasi dan Pemantauan, Pencegahan, dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Seremonial penandatanganan ini dilakukan di tengah rangkaian kegiatan Peringatan Satu Tahun UU TPKS yang ditandatangani oleh para Ketua LNHAM.
“Ini sebagai sebuah peristiwa penting sebagai kemenangan yang demokratis atas pelaksanaan prinsip HAM yang dapat dinikmati bersama oleh segenap kalangan. Penandatanganan MoU hampir bersamaan dengan 25 tahun Reformasi sebagai perjalanan panjang yang menghasilkan penegakan hukum yang lebih baik lintas generasi, sektor, dan masyarakat sipil,” kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah.
Di sesi diskusi, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah bersama Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Komisioner KPAI Diyah Puspitarini, Komisioner KND Jonna Aman Damanik, dan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA RI) Nahar membicarakan tentang kondisi terkini pengimplementasian UU TPKS.
Anis Hidayah mencermati implementasi UU TPKS cukup progresif dan on the track. Ia mengusulkan optimalisasi tentang ancaman pidana terhadap pelaku kekerasan seksual sekaligus peran masing-masing LNHAM untuk pemantauan serta advokasi kasus-kasus kekerasan seksual di tengah masyarakat.
Turut hadir dalam rangkaian kegiatan ini, antara lain Komisioner Pengaduan Hari Kurniawan, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Ketua KND Dante Rigmalia, dan Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Sunarman Sukamto.
Sebagai informasi, penyusunan draf RUU PKS dilakukan sejak 2014 melalui berbagai rangkaian diskusi, dialog, dan penyelarasan berbagai fakta serta teori. Pada Mei 2016, untuk pertama kali RUU PKS dibahas di DPR RI. Namun, berulang kali harus keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR. Setelah menanti selama 10 tahun, RUU TPKS akhirnya resmi disahkan menjadi UU pada 12 April 2022, melalui Rapat Paripurna DPR RI.
UU TPKS yang terdiri dari 93 Pasal dan 12 Bab ini menyebutkan sembilan jenis TPKS yang diatur dalam Pasal (4) Ayat (1) UU TPKS. Bentuk TPKS yang diidentifikasi, antara lain pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kotrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Selain itu, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
UU TPKS memberi kemungkinan bagi korban atau siapa pun yang mengetahui atau melihat peristiwa tindak kekerasan seksual untuk melakukan pelaporan. Pelaporan ini dapat dilakukan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, serta kepolisian. Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 39 Ayat (1) UU TPKS. (IW)
Short link