Jakarta-Upaya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat terus diupayakan oleh berbagai pihak, salah satunya Komnas HAM.
“Kita ketahui Bapak Presiden melalui hasil laporan TPPHAM telah mengakui dan menyebutkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Kasus tersebut adalah kasus-kasus yang pernah diselidiki oleh Komnas HAM dan disimpulkan sebagai pelanggaran HAM yang berat,” ucap Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat menjadi pembicara Diskusi Publik: "Peluang Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Untuk Menguatkan Peran KKR Aceh," Kamis (9/3/2023).
TPPHAM, kepanjangan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat menjadi mitra kerja Komnas HAM untuk menyelesaikan 12 peristiwa pelanggaran HAM yang tiga di antaranya terjadi di Aceh. “TPPP HAM hanya menyebut 12 kasus sebagai pelanggaran HAM berat yang akan ditindaklanjuti. Dari 12 kasus tersebut ada yang merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh yaitu kasus Rumoh Geudong, Jambo Keupok dan Simpang KKA,” papar Atnike.
Khusus penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM mengapresiasi peran KKR Aceh yang memasuki periode kedua. Dalam proses kerja, KKR Aceh telah menghasilkan banyak sekali data informasi terkait peristiwa maupun korban. Bahkan Wali Nanggroe Aceh menyerahkan sekira 5.000 data korban pelanggaran HAM yang telah didata oleh KKR Aceh kepada Menkopolhukam.
Inisiatif untuk menyerahkan data korban sebagai upaya dari KKR Aceh untuk memberikan dampak yang positif bagi korban. “Tetapi memang perlu diperhatikan nanti kerangka institusional dari KKR Aceh dengan mekanisme yudisial atau tindak lanjut dari TPPHAM yang akan dibentuk oleh pemerintah. Kedepan ada beberapa hal yang menurut saya perlu diperjelas,” tegasnya.
Menurut Atnike, kategori korban yang akan mendapatkan pemulihan sebagai tindak lanjut dari rekomendasi T⁹PPHAM. “Maka definisi, cakupan dari korban yang akan ditangani oleh tim tindak lanjut itu harus memperjelas kategori atau cakupan korban,” tutur Atnike.
Hal yang lain juga perlu diperhatikan mengenai konsep reparasi yang sesuai dengan konteks kebutuhan sosial di wilayah di mana korban hidup dalam hal ini dalam konteks Aceh. “Untuk reparasi darurat itu sudah pernah diberikan oleh Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh yang bentuknya pelayanan medis, bantuan-bantuan sosial sosial dan sebagainya. Telah juga merumuskan kebutuhan adanya reparasi komprehensif baik dalam pembangunan rumah, modal usaha yang sesuai dengan konteks sosial masyarakat Aceh seperti pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, juga bentuk-bentuk beasiswa dan lain sebagainya. Rekomendasi ini menurut saya juga perlu disampaikan kepada pemerintah,” jelasnya.
Pada kesempatan tersebut, Atnike turut mengenalkan Standar Norma dan Pengaturan tentang Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat. “Di dalamnya ada berbagai prinsip dan juga model-model hak-hak yang mungkin dapat digunakan sebagai rujukan untuk mengembangkan lebih lanjut rumusan-rumusan pemulihan ataupun rumusan kebijakan untuk pemulihan korban yang sesuai dengan konteks Aceh,” imbuhnya. (AM/IW)
Short link