Kabar Latuharhary – Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia (HAM), dalam hal khususnya hak atas kebebasan berekspresi di tengah semakin tingginya tingkat pemanfaatan internet di Indonesia. Regulasi yang menjamin pemanfaatan teknologi dan informasi penting untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi masyarakat dan penyelenggara teknologi informasi.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga menyampaikan poin-poin tersebut saat membuka acara Webinar Publik "RUU Perubahan UU ITE Harus Berorientasi Pada Pelindungan Hak atas Kebebasan Berekspresi” yang diselenggarakan secara daring pada Rabu, 27 Juli 2022. Webinar Peluncuran Kajian Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini, diadakan setelah Komnas HAM menyelesaikan proses pengkajian RUU Perubahan UU ITE.
Sebagaimana disampaikan Sandra – sapaan akrab Sandrayati Moniaga – keberadaan UU ITE sejak disahkan pada 2008, ditengarai telah menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak berekspresi. Berangkat dari adanya keputusan Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU ITE tersebut pada 2021, Komnas HAM mengkaji secara mendalam RUU Perubahan UU ITE agar tidak ada lagi pasal-pasal yang mengancam pelaksanaan HAM di Indonesia. “Walaupun UU ITE dibentuk atas dasar kebutuhan regulasi tersebut, nyatanya keberadaan UU ini menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak berekspresi sejak disahkannya tahun 2008,” kata Sandra.
Sandra juga mengungkapkan bahwa sejak tahun 2016 sampai 2021, Komnas HAM menerima 108 pengaduan terkait UU ITE. Oleh karena itu, sesuai dengan fungsi dan kewenangan Komnas HAM yang tertuang dalam pasal 89 ayat 1 huruf b UU 39 tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM bertugas melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundangan terkait HAM. “Dengan dasar inilah kami melakukan Pengkajian dan penelitian RUU perubahan UU ITE, didasarkan pada kewenangan dan kebutuhan UU ini,” ungkap Sandra.
Sandra menambahkan terkait hasil kajian tersebut, Komnas HAM akan menyampaikannya kepada stakeholder terkait. “Hasil kajian ini akan kami sampaikan secara resmi kepada Pak Menko Polhukam (Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan rekan-rekan di Kementerian Kominfo (Komunikasi dan Informatika). Saya berharap kiranya hasil kajian ini dapat bermanfaat untuk pemajuan HAM di Indonesia,” ucap Sandra.
Hadir sebagai narasumber pada webinar tersebut, Cekli S. Pratiwi, Tim Pengkaji UU ITE yang juga sebagai Sekjen Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM) sempat memaparkan tujuan dari pengkajian UU ITE tersebut. Menurut Cekli, hal itu dilakukan oleh Komnas HAM dan tim dalam rangka menguji keselarasan antara RUU Perubahan UU ITE dengan Hukum HAM, serta menguji kaitan RUU Perubahan UU ITE dengan trend hukum atau pengaturan terkait dengan aspek-aspek pidana, baik itu kriminalisasi maupun depenalisasi.
Antusiasme dari peserta terlihat pada sesi diskusi webinar. Tercatat ada pertanyaan mengenai efektivitas intervensi yang dilakukan komnas HAM dalam memastikan penyusunan atau perancangan regulasi yang mengutamakan HAM. Merespon hal tersebut, Sandra menyampaikan bahwa Komnas HAM dalam melakukan kajian umumnya mengkaji untuk beberapa tema selama beberapa tahun.
“Jadi, misalnya untuk UU ITE, itu tidak terlepas juga sebelumnya ada kajian pelindungan data pribadi, kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dari situ, kita juga dapat melihat sejauhmana rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM diikuti atau tidak. Selain itu, Komnas HAM juga melakukan kerja sama dengan SEPAHAM serta kawan-kawan pembela HAM. Dalam hal ini networking tidak dapat diabaikan, gerakan HAM ini kan suatu gerakan bersama dan ada agenda bersama. Sekali lagi Komnas tidak sendiri, bersama dan memiliki banyak kawan dan kami selalu terbuka apabila teman-teman menemukan hal-hal baru,” kata Sandra.
Pada akhir sesi, Sandra mengungkapkan bahwa persoalan UU bukan hanya persoalan pemerintah atau DPR saja, melainkan persoalan bersama. “Ini adalah proses yang alami dan kita butuhkan agar Indonesia bisa semakin maju memiliki peraturan perundang-undangan yang baik dan bisa membangun negara hukum yang berkeadilan,” ungkap Sandra.
Hadir sebagai penanggap, Sugeng Purnomo, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Sih Yuliana Wahyuningtyas, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Okta Rina Fitri, Analis Perlindungan HAM sebagai moderator.
Penulis : Niken Sitoresmi
Short link