Kabar Latuharhary – Pemerintah
melakukan perbaikan kedua terhadap Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) sejak awal 2021. Diperlukan kajian secara mendalam mengenai rancangan perbaikan undang-undang
tersebut agar tidak ada lagi pasal-pasal yang mengancam pelaksanaan Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia.
“Diskusi
ini dilakukan untuk mengetahui dampak UU ITE terhadap perlindungan,
penghormatan, dan pemajuan HAM,” ucap Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian
dan Penelitian Komnas HAM. Hal itu disampaikan saat menghadiri FGD tentang
Revisi Kedua UU ITE yang diselenggarakan secara daring pada Rabu, 13 April 2022.
Selain
Komisioner Pengkajian dan Penelitian, diskusi grup terfokus itu juga dihadiri
oleh Mimin Dwi Hartono selaku Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Damar
Juniarto dari SAFEnet, Cekli Pratiwi dari SEPAHAM, Arsyad dari Paku ITE, Zaky
Yamani dari Amnesty International Indonesia, Feri Lubis dari bagian Publikasi Komnas
HAM, serta Delsy Nike, Oktarina Fitri dan Brian Azeri dari Bagian Pengkajian
dan Penelitian Komnas HAM.
Terdapat
768 kasus yang menggunakan pasal bermasalah UU ITE sepanjang tahun
2016-2020. Ibu rumah tangga, konsumen,
buruh, jurnalis aktivis, akademisi seniman, sastrawan menjadi korban UU ITE.
“Profesi apapun bisa terkena kasus UU ITE,” ungkap Damar.
Damar kemudian melanjutkan penjelasan mengenai riwayat perbaikan kedua UU ITE. Pada 15 Februari 2022, Presiden Indonesia, Joko Widodo meminta DPR untuk melakukan perbaikan kedua terhadap UU ITE.
Damar
menyampaikan bahwa Kemenpolhukam, Kominfo, kemenkumham kemudian menyusun naskah
revisi UU ITE yang dimulai dari bulan Maret hingga November 2021. Pada 16
Desember 2021, Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Supres dan mengirim
draft Revisi UU ITE kedua ke Sekretariat DPR.
Arsyad
menyampaikan bahwa pasal karet pada UU ITE digunakan untuk membatasi kebebasan
berpendapat sehingga perlu dikaji lebih dalam pasal-pasalnya. Pada
kenyataannnya, banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat
negara, dan pemodal.
Lebih
lanjut, Arsyad mengatakan bahwa pola pemidaan kasus UU ITE ada bermacam-macam,
contohnya dengan bentuk balas dendam, barter perkara, membungkam kritik, shock
therapy dan persekusi kelompok. Kasus pemidanaan melalui UU ITE membuat
terlapor takut sehingga tidak lagi berani menyuarakan pendapatnya. “Hal ini
menjadi persoalan serius dalam menyuarakan hak berpendapat dan berekspresi,”
tutur Arsyad.
Penulis:
Feri
Editor:
Christiningsih
Short link