Kabar
Latuharhary – Aktivis yang
mendampingi warga untuk memperjuangkan haknya dapat dikategorikan sebagai Pembela HAM. Saat ini, Pembela HAM banyak mengalami
serangan dan ancaman. Pada titik itu Komnas
HAM memandang penting membangun
mekanisme
pelindungan khusus
bagi Pembela HAM.
Komisioner Pendidikan
dan Penyuluhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik
Indonesia (RI) Beka Ulung Hapsara menyampaikan pernyataan tersebut saat memberikan
sambutan dan memaparkan materi pada Workshop Pelindungan dan Pemenuhan
Hak-Hak Pembela HAM dalam Konflik Agraria yang diselenggarakan secara hybrid di Hotel
Grand Basko, Padang, Sumatra Barat, pada Rabu, 30 Maret 2022.
“Pembela HAM memiliki kontribusi yang sangat
penting dalam pembelaan hak-hak masyarakat. Tetapi,
mereka mendapatkan ancaman dari berbagai pihak. Makanya, kami merasa
perlu adanya pelindungan untuk itu,” kata Beka
Ulung Hapsara.
Beka -- sapaan akrab Beka Ulung Hapsara -- menyampaikan bahwa Komnas HAM telah mengeluarkan mekanisme pelindungan bagi Pembela HAM. Komnas HAM telah memiliki Standar Norma dan Pengaturan (SNP) untuk kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat. “Contohnya dalam kasus penggusuran oleh pemerintah, itu boleh dilakukan penggusuran, tetapi harus ada standar yang tinggi mengenai HAM masyarakat setempat sebelum kebijakan itu dilakukan. SNP ini bisa menjadi acuan dalam mempertahankan dan membela hak masyarakat,” ujar Beka.
Sementara itu, narasumber lain Wengki Purwanto Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat menceritakan pengalaman yang telah dikerjakan Walhi dalam mendampingi dan mengadvokasi hak-hak Pembela HAM dalam konflik agraria. Pelanggaran terhadap Pembela HAM yang pernah terjadi, seperti kekerasan fisik, perusakan properti dan serangan yang membahayakan keselamatan jiwa individu. Ada juga kekerasan non fisik, kriminalisasi, diskriminasi, intimidasi, ancaman pembunuhan, serangan oleh kelompok yang merasa terganggu kepentingannya, sampai kepada tekanan terhadap profesi dan jabatan.
“Pengalaman Walhi dalam mengadvokasi hak-hak Pembela HAM yaitu kita sering melakukan pendidikan serta edukasi terkait pembelaan HAM. Kami melakukan sinergi dan koordinasi, memperkuat jaringan Pembela HAM, advokasi regulasi dan kebijakan,” tutur Wengki Purwanto.
Pengalaman lain berdasarkan hasil penelitian yang bertujuan untuk memberdayakan Pembela HAM di sektor agraria disampaikan oleh akademisi Universitas Andalas (Unand) Padang, Afrizal. Menurut Afrizal, isu konflik agraria yang ditemukan di Sumatra Barat (Sumbar) diurutan teratas adalah isu pelanggaran HAM terkait penyerobotan lahan dan masalah plasma. Sedangkan strategi yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat adalah menyampaikan aspirasi ke pajabat daerah/pemerintah melalui demonstrasi. Dalam kasus tersebut penyerangan dapat terjadi dan dilakukan oleh masyarakat, setelah kemandekan upaya-upaya damai. Hal ini berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
“Jadi, kesimpulan
saya yaitu pelanggaran HAM terkait
konflik agraria tampak di Sumatra Barat.
Pejuang
HAM kurang memperoleh pelindungan serta peraturan
perundang-undangan belum maksimal dalam menjaga dan melindungi hak-hak warga negara dalam
menyelesaikan
masalah-masalah atau pelanggaran HAM yang
terjadi di
Sumatra Barat,” kata Afrizal.
Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM,
Mimin Dwi Hartono yang hadir dalam acara tersebut, juga sempat menyampaikan
tanggapannya terkait kasus Pembela HAM. Menurut Mimin – sapaan akrab Mimin Dwi
Hartono – langkah awal yang harus dilakukan adalah mengembalikan semangat untuk
berdialog
bersama-sama. “Memang ini masalah yang berlarut-larut, tetapi
saya kira kalau kita bersama-sama pasti bisa. Saya harapkan,
semoga workshop ini dapat menghasilkan rekomendasi untuk masalah yang
ada. Isu-isu terkait Pembela HAM ini penting
karena masyarakat memang diberi ruang untuk melakukan pembelaan HAM,” tutur Mimin.
Dalam agenda workshop yang dilakukan selama 2
(hari) tersebut juga dilakukan diskusi dan bedah SNP tentang Pembela
HAM. SNP merupakan alat untuk mendorong terciptanya kondisi yang kondusif bagi penghormatan,
pelindungan, dan pemenuhan HAM di
Indonesia.
Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.
Short link