Jakarta – Situasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia masih menemui berbagai permasalahan. Komnas HAM mencatat sepanjang 2020-2021 terdapat 44 kasus pelanggaran terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Meskipun dengan otoritas atau kewenangan sangat tinggi, negara tidak boleh sewenang-wenang mencampuri urusan kebebasan berpendapat apalagi kemudian menahan atau menghukum orang hanya karena pendapat yang berbeda,” jelas Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara, dalam Webinar “Sadar Hukum dan HAM: Perundungan Siber dan Etika Siber" yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo RI, Senin (21/2/2022).
Negara, lanjutnya, dituntut untuk menahan diri campur tangan terhadap kebebasan berpendapat. Lantaran kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights serta tercantum dalam UUD 1945.
Beka juga menyoroti adanya pejabat negara yang tersinggung dengan pendapat publik kemudian melaporkannya menggunakan UU ITE. “Sekarang banyak, misalnya Bupati atau saya sebagai Komisioner Komnas HAM tiba-tiba di sosial media saya, di Facebook atau Twitter, saya dicaci maki, di-bully, dikutuk. Kemudian saya tersinggung. Pakai UU ITE. Tidak boleh seperti itu,” ujarnya.
Kebebasan berpendapat merupakan kebebasan pribadi yang berkaitan dengan pikiran yang dimiliki. Begitupun ketika seseorang melontarkan opini. “Artinya, pendapatnya itu didasarkan pada apa yang ada di pikiran masing-masing individu," terang Beka.
Dalam hal kebebasan berpendapat, terdapat dua pembatasan, pertama, tidak merendahkan harkat dan martabat orang lain. Selanjutnya, tidak membahayakan keamanan nasional.
Selain itu, pembatasan kebebasan berpendapat harus diatur dengan hukum, dan diperlukan dalam tatanan masyarakat demokratis sebagai bentuk implementasi menghormati hak orang lain. Adanya pembatasan kebebasan berpendapat juga berguna untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keselamatan publik serta melindungi hak dan kebebasan orang lain.
Beka juga mencermati maraknya ujaran kebencian yang terjadi di tengah masyarakat. Ujaran kebencian sendiri menyangkut pernyataan lisan yang menyatakan kebencian, mendorong kekerasan kepada seseorang atau kelompok berdasarkan pada latar belalang tertentu seperti ras agam jenis kelamin, atau orientasi seksual.
Tidak hanya bisa menumbuhkan kebencian, ujaran kebencian juga akan menimbulkan permasalahan lainnya. “Ujaran kebencian akan mendorong intoleransi, kebencian, merendahkan serta memecah belah,” lanjut Beka.
Sementara itu, Beka juga menyinggung terkait hak atas perlindungan data pribadi. Ia menegaskan bahwa negara tidak boleh serta merta mencampuri privasi orang termasuk akses diantaranya data pribadi, intersepsi komunikasi seperti pembatasan internet tanpa alasan yang jelas, pilihan atau perubahan nama, serta kehidupan seksual. (AM/IW)
Short link