Latuharhary-Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention of Anti Torture/CAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Namun, isu kekerasan oleh aparat keamanan masih menjadi aduan teratas di Komnas HAM.
“Ratifikasi CAT adalah hadiah reformasi. Konvensi CAT ini juga merupakan konvensi core dengan Indonesia menjadi satu dari lima negara yang mendorong ratifikasi CAT di dunia,” tutur Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga ketika menjadi narasumber dalam Diskusi Implementasi Insturmen Internasional HAM yang Telah Diterima Indonesia atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Senin (31/10/2022).
Pemenuhan hak hidup, hak atas rasa aman, serta bebas dari penyiksaan yang merendahkan manusia menjadi substansi utama regulasi tersebut. Konsekuensinya, negara wajib memenuhi dan melaporkan perkembangan melalui periodik kepada komite anti penyiksaan setiap empat tahun sekali. Untuk itu dibutuhkan masukan dari beberapa pihak yang akan menghasilkan laporan yang akurat berdasaraan perkembangan data yang disampaikan peserta.
“Torture belum masuk kategori pidana di Indonesia. Masih sering adanya pencampuran antara penyiksaan dan kekerasan. Padahal penyiksaan bisa masuk verbal dan psikologis. Harus ada pemahaman utuh tentang penyiksaan, kekerasan, dan penganiayaan yang tidak boleh dicampur aduk,” tegas Sandra.
Komnas HAM ikut mendiseminasikan upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap para pembela HAM melalui penetapan Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM.
Upaya lainnya melalui percepatan penanganan dengan membentuk Tim Pembela HAM sejak tahun 2019 – 2022. Kerja tim ini terkait pendokumentasian kasus dan kategorisasi dalam sistem pencatatan pengaduan untuk kasus khusus pembela HAM serta pemantauan kasus -kasus dugaan Pelanggaran HAM terhadap Pembela HAM.
Untuk pencegahan, Komnas HAM RI telah menyusun dan menetapkan: Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Pembela Hak Asasi Manusia (2021), SNP tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, dan SNP tentang Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi (2020) untuk pembela HAM dan masyarakat pada umumnya.
Terkait situasi pembela HAM di Provinsi Papua Barat, Sandra menyarankan Dirjen HAM untuk melakukan konsultasi dengan organisasi masyarakat papua, ELSHAM, LBH, Sekretariat keadilan perdamaian gereja, forum Kerjasama LSM, serta Komnas perempuan.
“Terkait KuPP atau Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan, Komnas HAM bersama empat lembaga lainnya telah bergabung bersama KuPP dengan kerja intensif tahun 2016 hingga saat ini,” tutur Sandra.
Disebutkan bahwa dalam kerja sama ini telah menghasilkan panduan penanganan tempat tempat penahanan untuk mengetahui kondisi situasi tempat-tempat penahanan untuk mencegah penyiksaan dengan tujuan perbaikan ke depan. Panduan ini disusun lewat proses cukup panjang dan melalui uji coba terlebih dahulu.
“Hal menariknya, KuPP menemukan tempat tercerabutnya kebebasan itu adalah panti sosial; disabilitas mental tanpa proses hukum apapun,” kata Sandra.
Dalam diskusi yang disampaikan Dirjen HAM ini hadir Direktur Instrumen HAM Kemenkumham dan perwakilan Direktur Rehabilitasi Kementerian Sosial, Kemenkopolhukam, Ditjen Imigrasi, serta Mahkamah Agung. (SP/IW)
Short link