Kabar Latuharhary - “Selama
5 (lima) tahun terakhir, Komnas HAM menerima 31 (tiga puluh satu) kasus terkait
dengan pengungsi. Dari 31 kasus tersebut, sebanyak 19,35% aduan terkait
pengabaian hak atas Kesehatan, 29% terkait akomodasi tidak layak, dan 43,3%
terkait pengabaian permohonan suaka,” ungkap Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan
HAM, Mimin Dwi Hartono dalam Focus Group Discussion (FGD)
Meningkatkan Ketahanan Pengungsi Melalui Peningkatan Peluang Livelihood yang
dilaksanakan melalui Zoom Meeting, Jum’at (14/10/2022).
Kegiatan ini dilakasanakan oleh Pusat Riset Politik
- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang saat ini sedang melakukan riset
dengan judul Meningkatkan Ketahanan Pengungsi Melalui Peningkatan Peluang Livelihood.
Hadir pula dalam diskusi, Perwakilan ASEAN Intergovernmental Commission
on Human Rights (AICHR), Yuyun Wahyuningrum dan Yanti Kusumawardhani,
serta Prof. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA, Rafendi Djamin, MA, serta Fuat E.
Kurniawan, S.Sos, M sebagai tim peneliti.
Dalam diskusi, Mimin juga menyampaikan bahwa
Indonesia belum meratifikasi The 1951 Convention Relating Status of
Refugees dan Protocol Relating to the Status of Refugess 1967.
Namun, beberapa instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi Indonesia
telah memuat beberapa ketentuan mengenai hak-hak pegungsi atau pencari suaka.
Instrumen tersebut antara lain CAT, ICCPR, ICESCR, CRC, CEDAW, dan lain-lain.
“Penting juga untuk kita headline bahwa
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam hal
mengupayakan perdamaian dunia. Hal ini juga penting untuk peneliti sebagai
payung regulasinya. Bisa menjadi satu kekuatan untuk kemudian mengadvokasi
kebijakan,” jelas Mimin.
Mimin pun menyinggung soal Peraturan Presiden Nomor
125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Sebagai peraturan
teknis nasional, namun masih lemah di tahap implementasi karena keterbatasan
anggaran dan kurang pahamnya aparatur di unit daerah. Dalam Perpres telah
mengatur hak-hak pengungsi, termasuk penyandang disabilitas dan kebutuhan
dasar, namun tidak mengatur terkait mata pencaharian atau livelihood.
“Walaupun sudah cukup mengatur dari tahap
penerimaan sampai dengan kematian, tapi dari sisi livelihood belum
ada. Saya kira ini penting untuk menjadi telaah para peneliti dan mendorong
revisi Perpres ini, sehingga mengakomodasi aspek empowerment, maupun
juga memandirikan pengungsi sehingga mereka bisa mampu untuk memenuhi
kebutuhannya sehingga mereka mandiri,” tegas Mimin.
Tidak hanya itu, perlunya memfasilitasi
keterampilan dan memberdayakan pengungsi supaya mandiri sehingga tidak
tergantung pada bantuan eksternal dalam jangka menengah dan Panjang ini karena
terkait juga dengan tujuan SDG’s.
Selain melakukan kajian dan revisi atas Perpres
125/2016, menurut Mimin perlu juga dilakukan Kajian atas Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor 300/2307/SJ dan Nomor 300/2308/SJ tentang Pembentukan Satuan
Tugas Penanganan Pengungsi di Luar Negeri.
Lebih dari itu, Komnas HAM sampai dengan saat ini
telah menerbitkan 11 (sebelas) Standar Norma dan Pengaturan. Isu-isu mengenai
hak-hak pengungsi dan pencari suaka dapat ditemukan pada beberapa SNP yang
disusun dan diterbitkan oleh Komnas HAM.
Di akhir
paparanya, disampaikan oleh Mimin bahwa Indonesia telah melaksanakan tugasnya
dalam penangan pengungsi, namun koordinasi lintas sektor dan lembaga untuk
penanganan pengungsi perlu lebih dioptimalkan.
Penulis :
Utari Putri Wardanti
Editor :
Liza Yolanda
Short link