Kabar Latuharhary – Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin setiap orang bebas dari
penyiksaan, namun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih mencatat
terjadinya tindakan penyiksaan, penghukuman atau perbuatan merendahkan Martabat
yang kejam dan tidak manusiawi.
“Standar
Norma dan pengaturan (SNP) Anti Penyiksaan merupakan salah satu langkah Komnas
HAM untuk memajukan dan menegakkan HAM di Indonesia,” ucap Sandrayati Moniaga,
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM. Hal itu disampaikan saat
menghadiri FGD SNP Anti Penyiksaan secara daring pada Kamis, 24 Maret 2022.
Selain
Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Diskusi grup terfokus itu juga dihadiri
oleh Mimin Dwi Hartono, Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Kepala kantor
Perwakilan Aceh, Kepala kantor Perwakilan Sumatra Barat, Kepala kantor
Perwakilan Sumatra Barat, Staf Kantor Perwakilan Papua, Staf Kantor Perwakilan
Maluku serta Staf Dukungan Pelayanan Pengaduan dan Tim Penyusun SNP Anti
Penyiksaan.
Yogen,
Staf kantor Perwakilan Papua mengatakan bahwa SNP Anti Penyiksaan nantinya
dapat dicetak dalam format buku saku. Hal ini akan memudahkan kami bekerja di
lapangan. Selain itu, dasar-dasar hukum yang digunakan juga perlu diperhatikan
sehingga kompetensi pelaksana di lapangan tidak diragukan.
“Sebaiknya
judul SNP tidak hanya mengenai penyiksaan, tetapi juga mencakup secara
keseluruhan. Lalu, dibuat kriteria sejauh manatindakan itu disebut sebagai
penyiksaan, kemudian tindakan apa saja yang termasuk katagori penghukuman,
perlakuan yang kejam dan atau merendahkan martabat manusia,” tambah Popy, Staf
Dukungan pelayanan Pengaduan Komnas HAM.
Benny,
Staf Kantor Perwakilan Maluku berharap SNP Anti Penyiksaan berorientasi
terhadap proses penegakan hukum. SNP ini juga perlu menyasar ke SDM seperti
penyidik. “Dalam proses memperoleh bukti dan informasi, Penyidik harus bekerja
secara profesional, tidak memperolehnya dengan jalur kekerasan, tetapi secara
professional memperoleh informasi itu dengan baik, tepat, dan benar tanpa
melakukan kekerasan,” tegasnya.
“Polisi
harus memiliki pemahaman HAM yang cukup, agar tidak terjadi kekerasan saat
melakukan penangkapan,” Sambung Nareki, Staf kantor Perwakilan Papua.
Perlu
dilakukan pemantauan atau semacam sidak, sidak penting dilakukan untuk mengukur
atau menguji bagaimana kondisi di dalam tahanan. Selain itu juga perlu ada
koordinasi yang baik antara komnas ham dan penasihat hukum maupun keluarga
korban, tambah Melky yang juga Staf Kantor perwakilan Papua.
Melky
bercerita, berdasarkan hasil pemantauan di Papua, terdapat beberapa potensi
terjadinya kekerasan, penyiksaan, serta perlakuan kejam dan tidak manusiawi.
Potensi kekerasan ditemukan saat proses penangkapan, lalu ditemukan saat
ditahan, dan lebih tinggi lagi saat proses pemeriksaan. Seringkali untuk
meminta informasi dan keterangan dilakukan dengan cara kekerasan dan
penyiksaaan.
Menyambung
Melky, Tian, Staf kantor Perwakilan Kalimantan Barat mengatakan bahwa selain
permasalahan tersebut, di Kalimantan Barat memiliki permasalahan akses dan
pendampingan hukum bagi korban penyiksaan.
Semoga hal ini bisa mendapatkan perhatian khusus.
Menutup
Diskusi, Sultanul, Kepala Kantor Perwakilan Sumatra Barat mengingatkan belum
layaknya kompensasi yang diterima oleh ahli waris korban yang meninggal dunia
akibat tindak penyiksaan. Selain itu, proses persidangan perlu mendapat
perhatian khusus bagi tim SNP Anti Penyiksaan.
Penulis:
Feri Lubis
Editor: Christiningsih
Short link