Latuharhary- Fenomena pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi saat ini semakin marak terjadi di masyarakat sipil. Kondisi ini mendapat sorotan dari banyak pihak, termasuk Komnas HAM RI yang menawarkan sebuah pedoman dalam kegiatan berpendapat dan berekspresi berupa Standar Norma Pengaturan (SNP).
“Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi ciri utama negara yang demokratis,” tutur Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga sebagai narasumber dalam Diskusi Publik "Masa Depan Demokrasi Indonesia: Menyoal Pembungkaman Suara Kritis Masyarakat”, Minggu (30/1/2022).
Berangkat dari kondisi ini, sejak tahun 2018 Komnas HAM Menyusun Standar Norma Pengaturan (SNP). Sejauh ini, Komnas HAM sudah mengesahkan tujuh SNP, yaitu SNP tentang Penghapusan Diskriminasi dan Etnis (PDRE), SNP tentang Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi, SNP tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), SNP tentang Hak Atas Kesehatan, SNP tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, SNP tentang HAM atas Tanah dan Sumber Daya Alam, serta SNP tentang Pembela HAM.
Sebanyak dua SNP dalam proses finalisasi, yaitu Hak atas Pemulihan Korban HAM yang Berat dan Hak Atas Keadilan. SNP ini, lanjut Sandra menjadi pemaknaan, penilaian, dan petunjuk atas kaidah-kaidah dan peristiwa hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat. Tolok ukurnya dengan prinsip dan aturan HAM internasional dan disandingkan dengan praktik serta kondisi di Indonesia.
“Kami juga merujuk pada UUD 1945 dan UU HAM,” ujar Sandra.
Kebermanfaatan SNP pun diharapkan menjadi pedoman bagi aparat negara, individu dan kelompok orang, serta aktor non-negara untuk menghindari tindakan yang membatasi hak. SNP juga dapat berfungsi sebagai panduan, penjelasan, dan pemaknaan dengan tujuan akhir penghormatan, perlindungan, dan terpenuhinya HAM di Indonesia.
“SNP kebebasan berpendapat dan berekspresi, instrumen yang kami susun untuk mendukung perlidungan dan penegakan HAM, terutama hak kebebasan berbendapat dan berekspresi,” tutur Sandra.
Beberapa poin penting yang dimuat dalam SNP tersebut, yaitu pidato dan ekspresi politik, ekspresi keagamaan, ekspresi seni, ekspresi simbolis, hak atas perlindungan data pribadi, kebebasan pers, hak atas internet, hak atas informasi dan informasi publik, kebebasan akademik, serta hak-hak atas keistimewaan.
Pembatasan hak berekspresi disebutkan dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu diatur berdasarkan hukum; diperlukan dalam masyarakat demokratis; untuk melindungi ketertiban umum; untuk melindungi kesehatan publik; untuk melindungi moral publik; untuk melindungi keamanan nasional; untuk melindungi keselamatan publik; serta melindungi hak dan kebebasan orang lain.
Sedangkan pengujian atas pembatan hak berekspresi harus melewati beberapa tahapan, yaitu pengujian legalitas, proporsionalitas, serta nesesitas.
“Kita tahu kedaulatan negara berada di tangan rakyat sehingga kehendak rakyat yang disampaikan melalui pendapat dan ekspresinya harus menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi diperlukan sebagai bentuk pengawasan, kritik dan saran, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis,” tutup Sandra.
Dalam kegiatan ini hadir pula narasumber lain, yaitu Direktur
ICJR Erasmus Napitupulu, pegiat demokrasi serta sutradara Angga Dwimas
Sasongko, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)Adnan Topan Husodo, serta
peneliti ICW Kurnia Ramadhana sebagai moderator. (SP/IW)
Short link