Kabar Latuharhary – Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia yang sudah terpinggirkan semakin pilu. mereka dipaksa angkat kaki dari wilayah adatnya karena tidak memiliki sertifikat hak atas tanah. Perampasan yang disertai dengan tindakan-tindakan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat hukum adat terus terjadi.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga atau yang akrab dipanggil Sandra membacakan narasi menarik hasil dari catatan etnografi yang ada dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. “Sertifikat adat kami adalah kuburan, tanaman tahunan, sawah, bekas kampung, situs-situs lain seperti kuburan batu (tasima). Itu sertifikat kami, tidak ada yang ditulis seperti pemerintah,” ucap Sandra saat menjadi salah satu narasumber dalam dialog "Peta Jalan Pertambangan Tana Luwu" yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui zoom webinar, Sabtu (31/7/2021).
Berdasarkan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) hingga tahun 2020, tercatat lebih dari 5,5 juta hektar luas lahan masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh wilayah adat di Indonesia, namun sangat sedikit diantaranya yang sudah diakui oleh pemerintah.
Sandra menjelaskan di dalam buku inkuiri tersebut berisi banyak potret nyata keadaan masyarakat-masyarakat hukum adat dengan konsesi seperti pertambangan, termasuk Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi. Menurutnya Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi tidak mengenal sertifikat tanah yang berupa dokumen kertas, mereka telah mendiami tanah tersebut secara turun temurun ratusan tahun lalu. Tidak hanya itu, Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi dengan tegas mengatakan jika selama ini yang membuat sawah pengairan, kampung, kuburan adalah mereka dan tidak mungkin binatang yang melakukan itu semua.
Pada kesempatan ini Ketua AMAN Tana Luwu Bata Manurun mengungkapkan sebesar 85% wilayah Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi masuk ke dalam wilayah konsesi tambang nikel milik PT Vale Indonesia yang seluas 118.017 hektar. Mayoritas masyarakat hukum adat berstatus sebagai petani yang mengandalkan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga adanya pengklaiman wilayah adat berimbas pada kesejahteraan mereka. “Ada persoalan ekonomi akibat dari konsesi lahan, masyarakat tidak punya lahan untuk digarap karena sebagian besar lahannya hilang dan dijadikan area pertambangan, sisa lahan yang tersedia pun telah rusak dan tercemar oleh aktivitas pertambangan,” ungkapnya.
Direktur Celebes Development Center Afrianto Nurdin mengamini pernyataan Bata Manurun. Menurutnya industri ekstraktif yang diharapkan akan meningkatkan tenaga kerja lokal dan kesejahteraan masyarakat justru jauh panggang dari api. “Penyerapan tenaga kerja sangat kecil, 1 triliun realisasi investasi menyerap 3.000 orang tenaga kerja, namun realisasinya hanya sekitar 1.400 orang,” papar Afrianto Nurdin.
Selama ini industri ekstraktif digadang-gadang akan menyerap tenaga kerja lokal, sayangnya hal tersebut tidak sesuai. Tingkat pendidikan masyarakat hukum adat yang mayoritas tamatan sekolah dasar menjadi salah satu faktor kendala karena sektor pertambangan membutuhkan adaptasi teknologi yang lebih baik, sehingga sektor pertambangan tidak bisa menyerap tenaga kerja dari masyarakat hukum adat. Tidak hanya itu, rendahnya pendidikan pun akan berimbas kepada kesejahteraan mereka karena rendahnya pendidikan maka upah yang diterima pun rendah.
“Pemerintah harus melihat kondisi sosial masyarakat, sektor pertambangan yang diharapkan menjadi lokomotif perkembangan ekonomi sebaiknya bisa menjadi pertimbangan pemerintah,” ucap Afrianto Nurdin lebih lanjut.
Bupati Luwu Utara Hj. Indah Putri Indriani, S.IP., M.Si mengungkapkan jika Luwu Utara mengakui dan melindungi hak atas tanah masyarakat hukum adat dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Menurutnya, dengan adanya peraturan daerah tersebut dapat melindungi masyarakat hukum adat Luwu Utara karena adanya pengakuan secara formal dan diharapkan mereka dapat mengelola tanah adatnya sesuai dengan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 27 Mei 2019.
Menanggapi hal tersebut Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan perlu adanya undang-undang khusus tentang masyarakat adat agar keberadaan dan hak-hak mereka terlindungi. Tidak adanya payung hukum tersebut membuat masyarakat adat terjebak dalam berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang justru digunakan untuk melegalisasi perampasan wilayah adatnya.
“Menciptakan pengakuan bersyarat yang panjang dan rumit seperti pada Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 yang mewajibkan adanya peraturan daerah seperti yang telah dilakukan oleh Luwu Utara itu tidak mudah, belum tentu kepada daerah lainnya mendukung seperti itu. Keruwetan-keruwetan ini mengganjal masyarakat adat sedangkan mereka harus berlomba dengan konsesi-konsesi yang ada,” ucapnya.
Adanya pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat oleh negara mungkin akan menjawab carut marut konflik yang timbul di wilayah adat Indonesia. Masyarakat hukum adat juga perlu didampingi agar tidak ada adu domba dan memastikan mereka dapat mengakses serta mengelola hak ulayatnya. Dampak negatif yang diberikan industri ekstraktif pun bersifat meluas dan berjangka panjang, tidak hanya mencederai hak-hak masyarakat namun juga merusak lingkungan sehingga negara harus lebih selektif memberikan ijin kepada perusahaan-perusahaan ekstraksi. Tentu saja ini semua dapat dilakukan jika semua pihak bekerja sama, baik negara maupun sektor swasta.
Dalam zoom webinar yang berlangsung selama 5 jam ini, hadir Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si., D.F.M, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Ir. Bambang Hendroyono, Bupati Luwu Dr. H. Basmin Mattayang, M.Pd, Bupati Luwu Timur Drs. H. Budiman Hakim, M.Pd, serta penanggap dari akademisi, peneliti, sosiolog, penggiat HAM seperti Ir. Bachrianto Bachtiar, M.Si, Dr. Sawedi Muhammad, S.Sos., M.Sc., Ir. Sri Endang dan Ernyanti Zain, S.S., M.Hum.
Penulis: Andri Ratih
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga atau yang akrab dipanggil Sandra membacakan narasi menarik hasil dari catatan etnografi yang ada dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. “Sertifikat adat kami adalah kuburan, tanaman tahunan, sawah, bekas kampung, situs-situs lain seperti kuburan batu (tasima). Itu sertifikat kami, tidak ada yang ditulis seperti pemerintah,” ucap Sandra saat menjadi salah satu narasumber dalam dialog "Peta Jalan Pertambangan Tana Luwu" yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui zoom webinar, Sabtu (31/7/2021).
Berdasarkan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) hingga tahun 2020, tercatat lebih dari 5,5 juta hektar luas lahan masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh wilayah adat di Indonesia, namun sangat sedikit diantaranya yang sudah diakui oleh pemerintah.
Sandra menjelaskan di dalam buku inkuiri tersebut berisi banyak potret nyata keadaan masyarakat-masyarakat hukum adat dengan konsesi seperti pertambangan, termasuk Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi. Menurutnya Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi tidak mengenal sertifikat tanah yang berupa dokumen kertas, mereka telah mendiami tanah tersebut secara turun temurun ratusan tahun lalu. Tidak hanya itu, Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi dengan tegas mengatakan jika selama ini yang membuat sawah pengairan, kampung, kuburan adalah mereka dan tidak mungkin binatang yang melakukan itu semua.
Pada kesempatan ini Ketua AMAN Tana Luwu Bata Manurun mengungkapkan sebesar 85% wilayah Masyarakat Hukum Adat Karunsi’e Dongi masuk ke dalam wilayah konsesi tambang nikel milik PT Vale Indonesia yang seluas 118.017 hektar. Mayoritas masyarakat hukum adat berstatus sebagai petani yang mengandalkan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga adanya pengklaiman wilayah adat berimbas pada kesejahteraan mereka. “Ada persoalan ekonomi akibat dari konsesi lahan, masyarakat tidak punya lahan untuk digarap karena sebagian besar lahannya hilang dan dijadikan area pertambangan, sisa lahan yang tersedia pun telah rusak dan tercemar oleh aktivitas pertambangan,” ungkapnya.
Direktur Celebes Development Center Afrianto Nurdin mengamini pernyataan Bata Manurun. Menurutnya industri ekstraktif yang diharapkan akan meningkatkan tenaga kerja lokal dan kesejahteraan masyarakat justru jauh panggang dari api. “Penyerapan tenaga kerja sangat kecil, 1 triliun realisasi investasi menyerap 3.000 orang tenaga kerja, namun realisasinya hanya sekitar 1.400 orang,” papar Afrianto Nurdin.
Selama ini industri ekstraktif digadang-gadang akan menyerap tenaga kerja lokal, sayangnya hal tersebut tidak sesuai. Tingkat pendidikan masyarakat hukum adat yang mayoritas tamatan sekolah dasar menjadi salah satu faktor kendala karena sektor pertambangan membutuhkan adaptasi teknologi yang lebih baik, sehingga sektor pertambangan tidak bisa menyerap tenaga kerja dari masyarakat hukum adat. Tidak hanya itu, rendahnya pendidikan pun akan berimbas kepada kesejahteraan mereka karena rendahnya pendidikan maka upah yang diterima pun rendah.
“Pemerintah harus melihat kondisi sosial masyarakat, sektor pertambangan yang diharapkan menjadi lokomotif perkembangan ekonomi sebaiknya bisa menjadi pertimbangan pemerintah,” ucap Afrianto Nurdin lebih lanjut.
Bupati Luwu Utara Hj. Indah Putri Indriani, S.IP., M.Si mengungkapkan jika Luwu Utara mengakui dan melindungi hak atas tanah masyarakat hukum adat dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Menurutnya, dengan adanya peraturan daerah tersebut dapat melindungi masyarakat hukum adat Luwu Utara karena adanya pengakuan secara formal dan diharapkan mereka dapat mengelola tanah adatnya sesuai dengan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 27 Mei 2019.
Menanggapi hal tersebut Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan perlu adanya undang-undang khusus tentang masyarakat adat agar keberadaan dan hak-hak mereka terlindungi. Tidak adanya payung hukum tersebut membuat masyarakat adat terjebak dalam berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang justru digunakan untuk melegalisasi perampasan wilayah adatnya.
“Menciptakan pengakuan bersyarat yang panjang dan rumit seperti pada Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 yang mewajibkan adanya peraturan daerah seperti yang telah dilakukan oleh Luwu Utara itu tidak mudah, belum tentu kepada daerah lainnya mendukung seperti itu. Keruwetan-keruwetan ini mengganjal masyarakat adat sedangkan mereka harus berlomba dengan konsesi-konsesi yang ada,” ucapnya.
Adanya pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat oleh negara mungkin akan menjawab carut marut konflik yang timbul di wilayah adat Indonesia. Masyarakat hukum adat juga perlu didampingi agar tidak ada adu domba dan memastikan mereka dapat mengakses serta mengelola hak ulayatnya. Dampak negatif yang diberikan industri ekstraktif pun bersifat meluas dan berjangka panjang, tidak hanya mencederai hak-hak masyarakat namun juga merusak lingkungan sehingga negara harus lebih selektif memberikan ijin kepada perusahaan-perusahaan ekstraksi. Tentu saja ini semua dapat dilakukan jika semua pihak bekerja sama, baik negara maupun sektor swasta.
Dalam zoom webinar yang berlangsung selama 5 jam ini, hadir Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si., D.F.M, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Ir. Bambang Hendroyono, Bupati Luwu Dr. H. Basmin Mattayang, M.Pd, Bupati Luwu Timur Drs. H. Budiman Hakim, M.Pd, serta penanggap dari akademisi, peneliti, sosiolog, penggiat HAM seperti Ir. Bachrianto Bachtiar, M.Si, Dr. Sawedi Muhammad, S.Sos., M.Sc., Ir. Sri Endang dan Ernyanti Zain, S.S., M.Hum.
Penulis: Andri Ratih
Editor: Hari Reswanto
Short link