Kabar Latuharhary - Proses alih status pegawai KPK untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menggunakan sistem seleksi didiuga kuat bertujuan untuk menyingkirkan pegawai yang dituduh sebagai “Taliban”.
Berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM yang dirilis pada 16 Agustus 2021, penyelenggaraan seleksi menggunakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.
Hal tersebut dijelaskan oleh Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Mochammad Choirul Anam, dalam kesempatan melakukan dialog bersama Wartawan Tempo, Rosenno Aji, melalui Live Media Sosial Instagram Tempo.co pada Selasa 24 Agustus 2021.
“Penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini di luar tujuan yang diperintahkan oleh undang-undang,” tegas Anam.
Lebih lanjut menurut Anam, stigma atau pelabelan sebagai taliban diduga dipakai untuk menyingkirkan beberapa orang tertentu. “Terlebih lagi jika melihat 75 (tujuh puluh lima) pegawai KPK yang berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS) tersebut variatif dalam hal agama. Background penanganan kasus dan kode etik yang dijalankan, juga prestasi mereka pun tidak ada hubungannya dengan soal keagamaan sehingga Komnas HAM menyimpulkan bahwa stigma labelisasi pada pegawai-pegawai yang dianggap taliban itu tidak benar,” ujar Anam.
Lebih lanjut, saat disinggung terkait siapa pihak yang paling berkepentingan dalam upaya yang diduga untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK, Anam tidak menyebutkannya. Namun, Anam menjelaskan bahwa orang-orang yang berstatus TMS ini kebanyakan adalah pegawai yang berprestasi dalam pemberantasan korupsi seperti dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), bongkar kasus, dll.
“Ketika mereka disingkirkan, yang mendapatkan manfaat dari momentum ini minimal orang-orang yang memiliki kepentingan untuk pemberantasan korupsi tidak maksimal, karena keberadaan 75 orang ini lah yang membuat pemberantasan korupsi menjadi maksimal,” tegas Anam.
Sebagai informasi, Komnas HAM telah menyampaikan rilis Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM atas Peristiwa Dugaan Pelanggaran HAM dalam Proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK Menjadi ASN pada 16 Agustus 2021 lalu. Komnas HAM juga telah menyampaikan surat permohonan kepada Presiden Republik Indonesia untuk bertemu menyampaikan rekomendasinya berdasarkan kesimpulan dari temuan dan analisis fakta peristiwa, kemudian nantinya executive summary akan diserahkan kepada lembaga lainnya.
Dalam rilis, disampaikan setidaknya terdapat 11 bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada proses asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi ASN. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang terjadi adalah sexual harrashment terhadap pegawai perempuan. “Misalnya pertanyaan tentang status perkawinan, alasan bercerai, dan ingatan terhadap rasa berhubungan badan,” ujar Anam.
Di akhir diskusi, menjawab pertanyaan dari netizen terkait apakah kasus TWK bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang sistematis, Anam menjelaskan jika dilihat dari alur cerita yang bermacam-macam, peristiwa ini memang ada nuansa terencana. Menurut Anam, hal ini bukan merupakan satu peristiwa yang tiba-tiba muncul namun suatu peristiwa yang terencana.
Penulis : Utari Putri W
Editor : Sri Rahayu
Berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM yang dirilis pada 16 Agustus 2021, penyelenggaraan seleksi menggunakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.
Hal tersebut dijelaskan oleh Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Mochammad Choirul Anam, dalam kesempatan melakukan dialog bersama Wartawan Tempo, Rosenno Aji, melalui Live Media Sosial Instagram Tempo.co pada Selasa 24 Agustus 2021.
“Penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini di luar tujuan yang diperintahkan oleh undang-undang,” tegas Anam.
Lebih lanjut menurut Anam, stigma atau pelabelan sebagai taliban diduga dipakai untuk menyingkirkan beberapa orang tertentu. “Terlebih lagi jika melihat 75 (tujuh puluh lima) pegawai KPK yang berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS) tersebut variatif dalam hal agama. Background penanganan kasus dan kode etik yang dijalankan, juga prestasi mereka pun tidak ada hubungannya dengan soal keagamaan sehingga Komnas HAM menyimpulkan bahwa stigma labelisasi pada pegawai-pegawai yang dianggap taliban itu tidak benar,” ujar Anam.
Lebih lanjut, saat disinggung terkait siapa pihak yang paling berkepentingan dalam upaya yang diduga untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK, Anam tidak menyebutkannya. Namun, Anam menjelaskan bahwa orang-orang yang berstatus TMS ini kebanyakan adalah pegawai yang berprestasi dalam pemberantasan korupsi seperti dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), bongkar kasus, dll.
“Ketika mereka disingkirkan, yang mendapatkan manfaat dari momentum ini minimal orang-orang yang memiliki kepentingan untuk pemberantasan korupsi tidak maksimal, karena keberadaan 75 orang ini lah yang membuat pemberantasan korupsi menjadi maksimal,” tegas Anam.
Sebagai informasi, Komnas HAM telah menyampaikan rilis Hasil Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM atas Peristiwa Dugaan Pelanggaran HAM dalam Proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK Menjadi ASN pada 16 Agustus 2021 lalu. Komnas HAM juga telah menyampaikan surat permohonan kepada Presiden Republik Indonesia untuk bertemu menyampaikan rekomendasinya berdasarkan kesimpulan dari temuan dan analisis fakta peristiwa, kemudian nantinya executive summary akan diserahkan kepada lembaga lainnya.
Dalam rilis, disampaikan setidaknya terdapat 11 bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada proses asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi ASN. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang terjadi adalah sexual harrashment terhadap pegawai perempuan. “Misalnya pertanyaan tentang status perkawinan, alasan bercerai, dan ingatan terhadap rasa berhubungan badan,” ujar Anam.
Di akhir diskusi, menjawab pertanyaan dari netizen terkait apakah kasus TWK bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang sistematis, Anam menjelaskan jika dilihat dari alur cerita yang bermacam-macam, peristiwa ini memang ada nuansa terencana. Menurut Anam, hal ini bukan merupakan satu peristiwa yang tiba-tiba muncul namun suatu peristiwa yang terencana.
Penulis : Utari Putri W
Editor : Sri Rahayu
Short link