Kabar Latuharhary – Sejak tahun 2014 silam, Komnas HAM telah melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden, Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif, maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Salah satu hal yang menjadi fokus utama Komnas HAM dalam pemantauan tersebut ialah terkait hak-hak kelompok rentan.
Hal tersebut disampaikan Komisioner Mediasi, Hairansyah, ketika menjadi narasumber Diskusi Publik “Persiapan Pengawasan Pemilu dan Pemilihan Serentak tahun 2024; Hak Pilih Masyarakat Rentan”, yang diselenggarakan oleh Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu), secara daring pada Jumat, 20 Agustus 2021.
“Kelompok rentan ini meliputi kelompok disabilitas, kelompok masyarakat adat, tahanan narapidana di Lembaga Permasyarakatan maupun rumah-rumah tahanan, hingga pasien-pasien yang berada di rumah sakit. Tidak hanya terkait hak dipilih, tetapi termasuk hak pilih, dan juga terkait dengan ikut serta dalam pemerintahan terutama menjadi bagian dari penyelenggara pemilu,” ucap Hairansyah.
Hairansyah menjelaskan bahwa dalam konteks pelaksanaan pilkada tahun 2020 lalu, karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19, fokus pemantauan yang dilakukan Komnas HAM bertambah menjadi pemenuhan hak pilih, diskriminasi ras dan etnis, kemurnian pemilihan, serta hak atas kesehatan. Lebih lanjut, Hairansyah menyampaikan untuk Pemilu di 2024 mendatang, apabila pandemi belum berakhir, tingkat kerentanan akan tetap sama.
“Tingkat kerentanan untuk kelompok rentan itu akan berlipat ganda, ketika memang situasi dan kondisinya tidak dalam kondisi yang cukup normal. Sehingga saya kira menjadi penting menyiapkan berbagai macam persiapan, antisipasi dalam rangka untuk memastikan seluruh proses pemilihan ini nanti terpenuhi hak-hak pilih dari setiap kelompok rentan yang dimaksud,” kata Hairansyah
Pada kesempatan kali ini, Hairansyah memaparkan hasil temuan tim pemantauan pemilu Komnas HAM, beberapa diantaranya seperti kurang maksimalnya koordinasi serta sosialisasi penyelenggara pemilu dengan kelompok rentan, kelengkapan logistik pemilu yang terlambat tiba di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS), kekurangan surat suara, pendataan pemilih yang kurang maksimal. Selain itu, pada penyelenggaraan pemilu 2019 lalu pemenuhan hak konstitusional bagi tahanan narapidana secara umum belum maksimal.Penyelenggaraan pemilu pun belum memiliki kebijakan khusus terkait pemenuhan hak pilih bagi pasien rumah sakit.
Lebih lanjut, Hairansyah menjelaskan temuan hak pilih bagi kelompok rentan seperti proses pendataan dan sosialisasi untuk penyandang disabilitas belum maksimal dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Serta kelompok masyarakat adat dan terpencil di beberapa wilayah juga masih mendapatkan kendala dalam pemenuhan hak pilih nya pada pemilu 2019.
“Akses atau fasilitas di beberapa TPS belum ramah terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Selain dalam hal pencatatan kelompok rentan dalam data pemilih, penyediaan TPS yang tidak akses terhadap kelompok disabilitas juga menjadi hal yang krusial dan penting untuk diperhatikan,” ungkap Hairansyah
Hairansyah turut memberi catatan penting terkait temuan hak pilih bagi penyandang disabilitas mental. Salah satunya ialah, kemandirian mereka dalam menggunakan hak pilih. Unsur kerahasiaan dalam proses pemilihan umum bagi kelompok rentan penyandang disabilitas mental menjadi permasalahan yang serius, dan harus menjadi perhatian.
“Keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas mental kerap kali mereka tidak mampu melakukannya secara mandiri. Artinya, penyelenggara pemilu perlu melakukan sosialisasi tidak hanya di hari H pemilu saja. Tetapi, harus ada simulasi yang dilakukan beberapa hari sebelumnya, sehingga mereka sudah terbiasa untuk menggunakan hak pilihnya,” ujar Hairansyah
Sebagai penutup, Hairansyah menyampaikan bahwa catatan penting terkait hak kelompok rentan dalam pemilihan umum ialah bagaimana negara dan penyelenggara memastikan, dan memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Meliputi regulasi, hingga teknis pelaksaan implementasi bahwa kelompok rentan dapat menggunakan hak pilihnya.
“Saya kira beberapa kali pemilu yang sudah dilakukan secara langsung ini sudah cukup menjadi pelajaran. Kemudian, memberikan dorongan bagi negara terutama pemerintah dalam menyiapkan regulasi yang responsif dan progresif terhadap kelompok-kelompok rentan,” ucap Hairansyah
Hal tersebut disampaikan Komisioner Mediasi, Hairansyah, ketika menjadi narasumber Diskusi Publik “Persiapan Pengawasan Pemilu dan Pemilihan Serentak tahun 2024; Hak Pilih Masyarakat Rentan”, yang diselenggarakan oleh Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu), secara daring pada Jumat, 20 Agustus 2021.
“Kelompok rentan ini meliputi kelompok disabilitas, kelompok masyarakat adat, tahanan narapidana di Lembaga Permasyarakatan maupun rumah-rumah tahanan, hingga pasien-pasien yang berada di rumah sakit. Tidak hanya terkait hak dipilih, tetapi termasuk hak pilih, dan juga terkait dengan ikut serta dalam pemerintahan terutama menjadi bagian dari penyelenggara pemilu,” ucap Hairansyah.
Hairansyah menjelaskan bahwa dalam konteks pelaksanaan pilkada tahun 2020 lalu, karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19, fokus pemantauan yang dilakukan Komnas HAM bertambah menjadi pemenuhan hak pilih, diskriminasi ras dan etnis, kemurnian pemilihan, serta hak atas kesehatan. Lebih lanjut, Hairansyah menyampaikan untuk Pemilu di 2024 mendatang, apabila pandemi belum berakhir, tingkat kerentanan akan tetap sama.
“Tingkat kerentanan untuk kelompok rentan itu akan berlipat ganda, ketika memang situasi dan kondisinya tidak dalam kondisi yang cukup normal. Sehingga saya kira menjadi penting menyiapkan berbagai macam persiapan, antisipasi dalam rangka untuk memastikan seluruh proses pemilihan ini nanti terpenuhi hak-hak pilih dari setiap kelompok rentan yang dimaksud,” kata Hairansyah
Pada kesempatan kali ini, Hairansyah memaparkan hasil temuan tim pemantauan pemilu Komnas HAM, beberapa diantaranya seperti kurang maksimalnya koordinasi serta sosialisasi penyelenggara pemilu dengan kelompok rentan, kelengkapan logistik pemilu yang terlambat tiba di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS), kekurangan surat suara, pendataan pemilih yang kurang maksimal. Selain itu, pada penyelenggaraan pemilu 2019 lalu pemenuhan hak konstitusional bagi tahanan narapidana secara umum belum maksimal.Penyelenggaraan pemilu pun belum memiliki kebijakan khusus terkait pemenuhan hak pilih bagi pasien rumah sakit.
Lebih lanjut, Hairansyah menjelaskan temuan hak pilih bagi kelompok rentan seperti proses pendataan dan sosialisasi untuk penyandang disabilitas belum maksimal dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Serta kelompok masyarakat adat dan terpencil di beberapa wilayah juga masih mendapatkan kendala dalam pemenuhan hak pilih nya pada pemilu 2019.
“Akses atau fasilitas di beberapa TPS belum ramah terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Selain dalam hal pencatatan kelompok rentan dalam data pemilih, penyediaan TPS yang tidak akses terhadap kelompok disabilitas juga menjadi hal yang krusial dan penting untuk diperhatikan,” ungkap Hairansyah
Hairansyah turut memberi catatan penting terkait temuan hak pilih bagi penyandang disabilitas mental. Salah satunya ialah, kemandirian mereka dalam menggunakan hak pilih. Unsur kerahasiaan dalam proses pemilihan umum bagi kelompok rentan penyandang disabilitas mental menjadi permasalahan yang serius, dan harus menjadi perhatian.
“Keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas mental kerap kali mereka tidak mampu melakukannya secara mandiri. Artinya, penyelenggara pemilu perlu melakukan sosialisasi tidak hanya di hari H pemilu saja. Tetapi, harus ada simulasi yang dilakukan beberapa hari sebelumnya, sehingga mereka sudah terbiasa untuk menggunakan hak pilihnya,” ujar Hairansyah
Sebagai penutup, Hairansyah menyampaikan bahwa catatan penting terkait hak kelompok rentan dalam pemilihan umum ialah bagaimana negara dan penyelenggara memastikan, dan memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Meliputi regulasi, hingga teknis pelaksaan implementasi bahwa kelompok rentan dapat menggunakan hak pilihnya.
“Saya kira beberapa kali pemilu yang sudah dilakukan secara langsung ini sudah cukup menjadi pelajaran. Kemudian, memberikan dorongan bagi negara terutama pemerintah dalam menyiapkan regulasi yang responsif dan progresif terhadap kelompok-kelompok rentan,” ucap Hairansyah
Turut hadir dalam diskusi, Aggota Bawaslu RI, M. Afifuddin, Direktur Politik Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), Abdi Akbar, dan Ketua I Pusat Pemilu Akses Disabilitas (PPUA Disabilitas), Heppy Sebayang. Pada kesempatan kali ini, M. Afifuddin menyampaikan bahwa Bawaslu berharap adanya kolaborasi dan pengenalan penemuan masalah terkait pemilu dapat diidentifikasi lebih awal. Sehingga, pemilu 2024 mendatang akan berjalan lebih baik dari pemilu sebelumnya.
“Idealnya kita dapat berkolaborasi, apa saja tantangan pengawasannya hingga tantangan kelompok rentan nya seperti apa. Karena, dari yang sudah disampaikan oleh narasumber lainnya pada kesempatan kali ini, kuncinya adalah kolaborasi, kuncinya kerja sama. Tentu akan lebih lengkap, nanti akan kita fasilitasi lagi agar ada dari pihak KPU dan Pemerintah. Karena, dua elemen ini tidak dapat dipisahkan dari perjuangan hak pilih dan keterlibatan masyarakat adat,” ucap M. Afifuddin.
Penulis : Annisa Radhia
Editor : Banu Abdillah
Short link