Kabar Latuharhary – Komnas HAM sesuai dengan mandatnya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia telah menyelesaikan pemantauan dan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam laporan dengan tebal lebih dari 300 halaman itu, Komnas HAM menyimpulkan adanya pelanggaran HAM dalam kasus alih status 75 pegawai KPK.
“Komnas HAM akan menyampaikan poin-poin penting yang terkandung dalam laporan dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK,” ucap Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, saat membuka Konferensi Pers (Konpres) yang diselenggarakan secara luring di Kantor Komnas HAM serta daring di kanal Youtube Komnas HAM RI, pada Senin, 16 Agustus 2021.
Konferensi Pers itu juga dihadiri oleh Wakil Ketua Eksternal, Amiruddin, Wakil Ketua Eksternal, Munafrizal Manan, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, M. Choirul Anam, Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga, serta Komisioner Mediasi, Hairansyah.
Mengawali Konpres, Beka menyampaikan proses pelaksanaan pemantauan dan penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Beberapa hal yang telah dilakukan itu diantaranya adalah melakukan permintaan keterangan, proses penyusunan dan analisis temuan faktual, permintaan dan penerimaan barang bukti, serta pendalaman ahli.
Selanjutnya Amiruddin menyampaikan terkait substansi fakta temuan diantaranya proses alih status pegawai KPK, pelebelan atau stigmatisasi taliban, pemutusan hubungan kerja (PHK) Pegawai KPK, penyelenggaraan asesmen TWK, usulan, atensi dan intensi penuh Pimpinan KPK, pelaksanaan asesmen TWK, dan lain-lain.
Selanjutnya Anam menjelaskan satu demi satu simpulan hasil temuan tersebut.
“Pertama, Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) hingga pelantikan pada 1 (satu) Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan background tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban,” kata Anam.
Kedua, menurut Anam, adanya pelabelan atau stigmatisasi taliban terhadap pegawai KPK yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik faktual maupun hukum, sebagai bentuk pelanggaran HAM. “Stigmatisasi maupun pelabelan terhadap seseorang merupakan salah satu permasalahan serius dalam konteks HAM,” tegasnya.
Selanjutnya ketiga, telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui alih status dalam asesmen TWK. “Penggunaan stigma dan label Taliban menjadi basis dasar pemutusan hubungan kerja melalui proses alih status pegawai KPK menjadi ASN nyata terjadi,” jelas Anam.
Kemudian yang keempat, dalam proses alih status pegawai KPK tidak semata-mata melaksanakan perintah dari UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan PP No. 41 Tahun 2020, namun memiliki intensi lain, yaitu penyingkiran terhadap pegawai KPK tertentu. “Pelaksanaan UU tersebut digunakan sebagai momentum untuk meneguhkan keberadaan stigma dan label di dalam internal KPK,” jelas Anam.
Kelima, papar Anam, usulan, atensi dan intensi penuh Pimpinan KPK dalam proses perumusan, penyusunan dan pencantuman asesmen TWK dalam Perkom Nomor 1 Tahun 2021, ditambah adanya keputusan di level pimpinan dan/atau kepala lembaga, serta menteri terkait 2 (dua) klausul, asesmen TWK dan bekerja sama dengan BKN yang dapat dipahami sebagai bentuk perhatian lebih dan serius dibandingkan substansi pembahasan lain dalam draf Perkom, sebagai proses yang tidak lazim, tidak akuntabel dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Keenam, kata Anam lagi, hal terkait dengan pelaksanaan Asesmen TWK dapat disimpulkan, antara lain:
A) penyelenggaraan teknis asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK tanpa dasar hukum yang jelas dan tepat, serta terindikasi tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B) kerja sama BKN dengan pihak Ketiga seperti BAIS, Dinas Psikologi AD, BNPT, dan BIN juga tidak memiliki dasar hukum.
C) penyelenggaraan asesmen TWK yang tidak ideal ditinjau dari sisi keterbatasan (constraint) waktu.
D) penyelenggara asesmen TWK bertindak kurang hati-hati dan cermat dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan terjadi pelanggaran kode perilaku asesor.
E) jenis pertanyaan dan indikator penilaian (merah, kuning, hijau) dalam asesmen TWK sebagaimana telah beredar di publik merupakan benar adanya dan merupakan persoalan serius dalam HAM karena diskriminatif, bernuansa kebencian, merendahkan martabat dan tidak berperspektif gender.
F) hasil asesmen TWK berupa penilaian Memenuhi Syarat (MS) dan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat.
Anam kembali melanjutkan bahwa ketujuh, adanya fakta dan dugaan kuat atas tindakan terselubung dan ilegal dalam pelaksanaan asesmen TWK antara lain dilakukannya profiling lapangan terhadap beberapa pegawai, dan penggunaan kop surat BKN oleh BAIS untuk tes esai atau Daftar Isian Pribadi (DIP).
Lalu ke delapan, pengabaian dan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 dan Arahan Presiden Republik Indonesia secara sadar dan sengaja yang dilakukan oleh KPK secara bersama-sama dengan instansi lain, da ke sembilan, kebijakan penyelenggaraan asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi asesmen tidak memenuhi tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan karena tidak adanya kepastian hukum, tidak berkeadilan dan tidak memiliki manfaat terhadap Pegawai KPK, khususnya yang TMS.
“Selain itu, penyelenggaraan maupun penyelenggara dalam proses asesmen tersebut pun tidak memenuhi prinsip profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas,” papar Anam menuturkan.
Komnas HAM RI melalui Munafrizal Manan kemudian mengungkapkan 11 (sebelas) pelanggaran HAM yang dilanggar dalam proses asesmen alih status pegawai KPK.
“Pelanggaran HAM itu adalah pelanggaran hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah, dan hak atas kebebasan berpendapat,” jelas Rizal.
Di akhir acara, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik lantas menyampaikan sejumlah rekomendasi Komnas HAM RI kepada Presiden Republik Indonesia selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan selaku pejabat pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK.
Pertama, kata Taufan, memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) KPK.
Selanjutnya kedua, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai KPK, dan ketiga, melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh pejabat Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK.
Lalu keempat, lanjut Taufan, perlu adanya penguatan terkait wawasan kebangsaan hukum dan HAM serta perlunya nilai-nilai tersebut menjadi code of conduct dalam sikap dan tindakan setiap ASN. Dan kelima, Komnas HAM RI merekomendasikan pemulihan nama baik pegawai KPK yang dinyatakan TMS.
Penulis: Feri Lubis
Editor: Mimin Dwi Hartono
“Komnas HAM akan menyampaikan poin-poin penting yang terkandung dalam laporan dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK,” ucap Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, saat membuka Konferensi Pers (Konpres) yang diselenggarakan secara luring di Kantor Komnas HAM serta daring di kanal Youtube Komnas HAM RI, pada Senin, 16 Agustus 2021.
Konferensi Pers itu juga dihadiri oleh Wakil Ketua Eksternal, Amiruddin, Wakil Ketua Eksternal, Munafrizal Manan, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, M. Choirul Anam, Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga, serta Komisioner Mediasi, Hairansyah.
Mengawali Konpres, Beka menyampaikan proses pelaksanaan pemantauan dan penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Beberapa hal yang telah dilakukan itu diantaranya adalah melakukan permintaan keterangan, proses penyusunan dan analisis temuan faktual, permintaan dan penerimaan barang bukti, serta pendalaman ahli.
Selanjutnya Amiruddin menyampaikan terkait substansi fakta temuan diantaranya proses alih status pegawai KPK, pelebelan atau stigmatisasi taliban, pemutusan hubungan kerja (PHK) Pegawai KPK, penyelenggaraan asesmen TWK, usulan, atensi dan intensi penuh Pimpinan KPK, pelaksanaan asesmen TWK, dan lain-lain.
Selanjutnya Anam menjelaskan satu demi satu simpulan hasil temuan tersebut.
“Pertama, Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) hingga pelantikan pada 1 (satu) Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan background tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban,” kata Anam.
Kedua, menurut Anam, adanya pelabelan atau stigmatisasi taliban terhadap pegawai KPK yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik faktual maupun hukum, sebagai bentuk pelanggaran HAM. “Stigmatisasi maupun pelabelan terhadap seseorang merupakan salah satu permasalahan serius dalam konteks HAM,” tegasnya.
Selanjutnya ketiga, telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui alih status dalam asesmen TWK. “Penggunaan stigma dan label Taliban menjadi basis dasar pemutusan hubungan kerja melalui proses alih status pegawai KPK menjadi ASN nyata terjadi,” jelas Anam.
Kemudian yang keempat, dalam proses alih status pegawai KPK tidak semata-mata melaksanakan perintah dari UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan PP No. 41 Tahun 2020, namun memiliki intensi lain, yaitu penyingkiran terhadap pegawai KPK tertentu. “Pelaksanaan UU tersebut digunakan sebagai momentum untuk meneguhkan keberadaan stigma dan label di dalam internal KPK,” jelas Anam.
Kelima, papar Anam, usulan, atensi dan intensi penuh Pimpinan KPK dalam proses perumusan, penyusunan dan pencantuman asesmen TWK dalam Perkom Nomor 1 Tahun 2021, ditambah adanya keputusan di level pimpinan dan/atau kepala lembaga, serta menteri terkait 2 (dua) klausul, asesmen TWK dan bekerja sama dengan BKN yang dapat dipahami sebagai bentuk perhatian lebih dan serius dibandingkan substansi pembahasan lain dalam draf Perkom, sebagai proses yang tidak lazim, tidak akuntabel dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Keenam, kata Anam lagi, hal terkait dengan pelaksanaan Asesmen TWK dapat disimpulkan, antara lain:
A) penyelenggaraan teknis asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK tanpa dasar hukum yang jelas dan tepat, serta terindikasi tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B) kerja sama BKN dengan pihak Ketiga seperti BAIS, Dinas Psikologi AD, BNPT, dan BIN juga tidak memiliki dasar hukum.
C) penyelenggaraan asesmen TWK yang tidak ideal ditinjau dari sisi keterbatasan (constraint) waktu.
D) penyelenggara asesmen TWK bertindak kurang hati-hati dan cermat dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan terjadi pelanggaran kode perilaku asesor.
E) jenis pertanyaan dan indikator penilaian (merah, kuning, hijau) dalam asesmen TWK sebagaimana telah beredar di publik merupakan benar adanya dan merupakan persoalan serius dalam HAM karena diskriminatif, bernuansa kebencian, merendahkan martabat dan tidak berperspektif gender.
F) hasil asesmen TWK berupa penilaian Memenuhi Syarat (MS) dan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat.
Anam kembali melanjutkan bahwa ketujuh, adanya fakta dan dugaan kuat atas tindakan terselubung dan ilegal dalam pelaksanaan asesmen TWK antara lain dilakukannya profiling lapangan terhadap beberapa pegawai, dan penggunaan kop surat BKN oleh BAIS untuk tes esai atau Daftar Isian Pribadi (DIP).
Lalu ke delapan, pengabaian dan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 dan Arahan Presiden Republik Indonesia secara sadar dan sengaja yang dilakukan oleh KPK secara bersama-sama dengan instansi lain, da ke sembilan, kebijakan penyelenggaraan asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi asesmen tidak memenuhi tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan karena tidak adanya kepastian hukum, tidak berkeadilan dan tidak memiliki manfaat terhadap Pegawai KPK, khususnya yang TMS.
“Selain itu, penyelenggaraan maupun penyelenggara dalam proses asesmen tersebut pun tidak memenuhi prinsip profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas,” papar Anam menuturkan.
Komnas HAM RI melalui Munafrizal Manan kemudian mengungkapkan 11 (sebelas) pelanggaran HAM yang dilanggar dalam proses asesmen alih status pegawai KPK.
“Pelanggaran HAM itu adalah pelanggaran hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah, dan hak atas kebebasan berpendapat,” jelas Rizal.
Di akhir acara, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik lantas menyampaikan sejumlah rekomendasi Komnas HAM RI kepada Presiden Republik Indonesia selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan selaku pejabat pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK.
Pertama, kata Taufan, memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) KPK.
Selanjutnya kedua, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai KPK, dan ketiga, melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh pejabat Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK.
Lalu keempat, lanjut Taufan, perlu adanya penguatan terkait wawasan kebangsaan hukum dan HAM serta perlunya nilai-nilai tersebut menjadi code of conduct dalam sikap dan tindakan setiap ASN. Dan kelima, Komnas HAM RI merekomendasikan pemulihan nama baik pegawai KPK yang dinyatakan TMS.
Penulis: Feri Lubis
Editor: Mimin Dwi Hartono
Short link