Kabar Latuharhary - Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, memberikan pemaparan dalam diskusi publik “Peluncuran Kajian Hari Bhayangkara: Catatan Evaluasi untuk Kepolisian Republik Indonesia” yang diselenggarakan oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) secara daring pada Senin, 5 Juli 2021.
Kajian yang diluncurkan tersebut disusun oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro (BEM Undip) yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).
Dalam dokumen kajian disebutkan bahwa Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo telah menetapkan 16 program prioritas Polri yang di dalamnya terdapat beberapa permasalahan yang memicu kritik di kalangan masyarakat. Beberapa permasalahan tersebut antara lain keberadaan polisi virtual di media sosial, wacana dimunculkannya Pasukan Pengamanan (PAM) Swakarsa, dugaan maraknya penggunaan kekerasan atau tindakan represif yang dilakukan oleh anggota kepolisian, penanganan protokol kesehatan di masa pandemi yang dirasa pandang bulu, serta masih adanya dugaan korupsi dan pungutan liar.
Menurut Beka -- sapaan akrab Beka Ulung Hapsara --, hasil kajian itu bisa didialogkan dengan para pengambil keputusan di kepolisian seperti Kapolri dan Kapolda beserta jajarannya sehingga ada kesepahaman antara mahasiswa dengan Polri.
Ia pun menyampaikan bahwa di dalam kajian yang diluncurkan, ada dua hal yang belum disorot yaitu terkait situasi di daerah rentan serta terkait kelompok minoritas dan rentan. “Perlu ditonjolkan bagaimana peran kepolisian di Papua misalnya. Karena Papua menjadi salah satu hotspot di mana pelanggaran HAM sering kali berulang, tidak ada perbaikan pada strategi maupun teknis di lapangan oleh aparat kepolisian. Penting juga meletakkan keadilan dan penyelesaian HAM di Papua (bagaimana) diarahkan,” jelas Beka.
Terkait kelompok minoritas dan rentan, Beka memberikan cotoh kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan. Seringkali setelah mendapat kekerasan di masyarakat, begitu mereka melapor justru mendapatkan kekerasan untuk kedua kalinya, seperti pelecehan atau standar pelayanan yang belum maksimal di kepolisian.
Lebih lanjut Beka menjelaskan bagaimana situasi penegakan HAM di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada Juli 2021, kepercayaan publik kepada kepolisian naik jika dibandingkan dengan hasil survei pada Januari 2021. Sehingga menurutnya hal ini mejadi modal yang baik untuk kepolisian.
Menurut Beka, harus ada apresiasi atas upaya-upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian. Komnas HAM melihat ada perbaikan dari internal kepolisian yang harus diapresiasi. Misalnya soal peningkatan kapasitas aparat kepolisian, pelatihan terkait hak asasi manusia terus dilakukan. Selain itu, kolaborasi dengan lembaga pengawas eksternal pun dilakukan kepolisian, seperti kerja sama dengan Komnas HAM dan Ombudsman untuk menjadi pengawas kerja kepolisian.
Berdasarkan data pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, secara umum mengalami penurunan. “Pada 2019, Komnas HAM menerima 3.084 kasus aduan dan di 2020 Komnas HAM hanya menerima 2.841 kasus. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, termasuk pandemi. Dari 2.841 kasus di 2020, ada sekitar 758 aduan terkait kepolisian masuk ke Komnas HAM. Sekitar 30-35% aduan masuk ke Komnas HAM terkait kepolisian. Tentang kepolisian sendiri pengaduannya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2019, yaitu 774 aduan,” terang Beka.
Di akhir diskusi, Beka menyampaikan bahwa Komnas HAM akan terbuka bekerja sama sesuai dengan kewenangan dan mandat yang dimiliki, seperti untuk melakukan sosialisasi, kampanye, peningkatan kapasitas diskusi secara terbuka, dan lain-lain. Ia pun berharap agar para mahasiswa dapat mencoba untuk melebarkan jaringan dengan masyarakat sipil lainnya untuk memperkaya perspektifnya.
Kajian yang diluncurkan tersebut disusun oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro (BEM Undip) yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).
Dalam dokumen kajian disebutkan bahwa Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo telah menetapkan 16 program prioritas Polri yang di dalamnya terdapat beberapa permasalahan yang memicu kritik di kalangan masyarakat. Beberapa permasalahan tersebut antara lain keberadaan polisi virtual di media sosial, wacana dimunculkannya Pasukan Pengamanan (PAM) Swakarsa, dugaan maraknya penggunaan kekerasan atau tindakan represif yang dilakukan oleh anggota kepolisian, penanganan protokol kesehatan di masa pandemi yang dirasa pandang bulu, serta masih adanya dugaan korupsi dan pungutan liar.
Menurut Beka -- sapaan akrab Beka Ulung Hapsara --, hasil kajian itu bisa didialogkan dengan para pengambil keputusan di kepolisian seperti Kapolri dan Kapolda beserta jajarannya sehingga ada kesepahaman antara mahasiswa dengan Polri.
Ia pun menyampaikan bahwa di dalam kajian yang diluncurkan, ada dua hal yang belum disorot yaitu terkait situasi di daerah rentan serta terkait kelompok minoritas dan rentan. “Perlu ditonjolkan bagaimana peran kepolisian di Papua misalnya. Karena Papua menjadi salah satu hotspot di mana pelanggaran HAM sering kali berulang, tidak ada perbaikan pada strategi maupun teknis di lapangan oleh aparat kepolisian. Penting juga meletakkan keadilan dan penyelesaian HAM di Papua (bagaimana) diarahkan,” jelas Beka.
Terkait kelompok minoritas dan rentan, Beka memberikan cotoh kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan. Seringkali setelah mendapat kekerasan di masyarakat, begitu mereka melapor justru mendapatkan kekerasan untuk kedua kalinya, seperti pelecehan atau standar pelayanan yang belum maksimal di kepolisian.
Lebih lanjut Beka menjelaskan bagaimana situasi penegakan HAM di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada Juli 2021, kepercayaan publik kepada kepolisian naik jika dibandingkan dengan hasil survei pada Januari 2021. Sehingga menurutnya hal ini mejadi modal yang baik untuk kepolisian.
Menurut Beka, harus ada apresiasi atas upaya-upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian. Komnas HAM melihat ada perbaikan dari internal kepolisian yang harus diapresiasi. Misalnya soal peningkatan kapasitas aparat kepolisian, pelatihan terkait hak asasi manusia terus dilakukan. Selain itu, kolaborasi dengan lembaga pengawas eksternal pun dilakukan kepolisian, seperti kerja sama dengan Komnas HAM dan Ombudsman untuk menjadi pengawas kerja kepolisian.
Berdasarkan data pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, secara umum mengalami penurunan. “Pada 2019, Komnas HAM menerima 3.084 kasus aduan dan di 2020 Komnas HAM hanya menerima 2.841 kasus. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, termasuk pandemi. Dari 2.841 kasus di 2020, ada sekitar 758 aduan terkait kepolisian masuk ke Komnas HAM. Sekitar 30-35% aduan masuk ke Komnas HAM terkait kepolisian. Tentang kepolisian sendiri pengaduannya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2019, yaitu 774 aduan,” terang Beka.
Di akhir diskusi, Beka menyampaikan bahwa Komnas HAM akan terbuka bekerja sama sesuai dengan kewenangan dan mandat yang dimiliki, seperti untuk melakukan sosialisasi, kampanye, peningkatan kapasitas diskusi secara terbuka, dan lain-lain. Ia pun berharap agar para mahasiswa dapat mencoba untuk melebarkan jaringan dengan masyarakat sipil lainnya untuk memperkaya perspektifnya.
Penulis : Utari Putri
Editor : Sri Rahayu
Short link