Kabar Latuharhary – Penggunaan istilah masyarakat hukum adat dan masyarakat adat masih saja menjadi bahan diskusi di antara para pemerhati lingkungan atau pun penggiat hak asasi manusia (HAM). Belum adanya pengakuan atas masyarakat hukum adat berakibat diantaranya pada perampasan atas tanahnya.
Hal tersebut mengemuka dalam wawancara antara Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga atau yang akrab dipanggil Sandra dengan Tim Penelitian Bidang Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI terkait HAM masyarakat adat, hak ulayat, dan reforma agraria melalui zoom meeting, Kamis (01/07/2021). Sandra yang didampingi oleh dua peneliti Komnas HAM yaitu Agus Suntoro, SH.,MH dan Prasetyo Adi Nugroho, SH menjabarkan penggunaan istilah masyarakat hukum adat serta berbagai persoalan yang sering kali ditemui oleh masyarakat hukum adat.
Hal tersebut mengemuka dalam wawancara antara Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga atau yang akrab dipanggil Sandra dengan Tim Penelitian Bidang Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI terkait HAM masyarakat adat, hak ulayat, dan reforma agraria melalui zoom meeting, Kamis (01/07/2021). Sandra yang didampingi oleh dua peneliti Komnas HAM yaitu Agus Suntoro, SH.,MH dan Prasetyo Adi Nugroho, SH menjabarkan penggunaan istilah masyarakat hukum adat serta berbagai persoalan yang sering kali ditemui oleh masyarakat hukum adat.
Menurut Sandra, penggunaan istilah masyarakat hukum adat sudah digunakan sejak dahulu. “Berdasarkan beberapa dokumen pemerintah, ketika The United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples (UNDRIP) ditandatangani, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri acara yang diadakan oleh Komnas HAM, Kementerian Dalam Negeri, Sekretariat Negara dan Mahkamah Konstitusi. Acara itu membahas tentang isu masyarakat-masyarakat adat yang ada di Indonesia dan beliau menyebutnya dengan masyarakat hukum adat,” ucap Sandra.
Tidak hanya itu, Sandra pun mengungkapkan jika istilah masyarakat hukum adat diakui dalam konstitusi dan tercantum secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 6 ayat (1) dan (2). Ada pula yang menggunakan istilah masyarakat adat, misal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang berpendapat jika tidak semua masyarakat adat memiliki hukum, namun mereka memiliki adat yang secara turun temurun dijalankan sehingga dikhawatirkan jika menggunakan istilah masyarakat hukum adat maka hanya masyarakat adat yang memiliki hukum yang akan dianggap.
Pada kesempatan itu Sandra menegaskan jika yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat juga termasuk masyarakat adat sesuai dengan inquiry nasional yang pernah dibuat oleh Komnas HAM pada 2014-2015. “Komnas HAM tidak sedang meneliti tentang masyarakat adat saat ini, namun kami sepakat menggunakan istilah masyarakat hukum adat karena istilah itu adalah istilah yang sah menurut konstitusi dan undang-undang HAM,” ucap Sandra lebih lanjut.
Peneliti Bidang Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI Novianto Hantoro mempertanyakan istilah indigenous people yang digunakan di level internasional, apakah istilah tersebut dapat disamakan dengan istilah masyarakat hukum adat. Menanggapi pertanyaan tersebut Sandra menjelaskan jika banyak sekali berbagai definisi tentang indigenous people, tetapi Sandra menekankan jika yang disebut sebagai indigenous people harus memenuhi beberapa unsur seperti yang diungkapkan oleh seorang sosiolog sekaligus antropolog Rodolfo Stavenhagen. “Indigenous people memiliki hukum yang disebut dengan hukum adat, kemudian mereka memiliki wilayah adatnya, mereka punya satu tradisi yang dirawat keberlanjutannya secara turun temurun. Hal itu semua sangat sama dengan masyarakat hukum adat,” jelas Sandra.
Santi Dwi Kartika sebagai ketua penelitian juga mempertanyakan kepada Sandra terkait hak-hak dasar yang menjadi hak masyarakat hukum adat. Sandra menjelaskan jika masyarakat hukum adat memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya, hanya saja masyarakat hukum adat memiliki kekhususan tersendiri. Sandra mencontohkan kalau masyarakat memiliki hak atas tanah, maka masyarakat hukum adat pun juga memilikinya namun konsepnya berbeda dengan hak komunalnya. Perlakuannya di mata hukum juga seharusnya sama, hak mereka wajib diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara.
Sayangnya, berdasarkan penelitian Komnas HAM dalam inquiry nasional, mayoritas masyarakat hukum adat di Indonesia belum memperoleh kembali tanah-tanahnya. Ada syarat administratif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti diwajibkan adanya peraturan daerah atau produk hukum daerah laiinya yang justru menjadi kendala untuk adanya pengembalian tanah-tanah tersebut. “Begitu banyak masyarakat hukum adat, begitu luas kawasan hutan dan banyaknya tumpang tindih antara tanah adat dan tanah negara menyebabkan sampai saat ini baru sekitar 30.000 hektar yang dikembalikan dan diakui sebagai hutan adat. Bayangkan, itu hanya sedikit dari target 4.500.000 hektar,” ungkap Sandra.
Agus – sapaan akrab Agus Suntoro – mengamini ucapan Sandra. Menurutnya syarat administratif tersebut justru menjadi kendala dalam pemenuhan kewajiban negara. Perlu adanya peninjauan kembali atas pengakuan bersyarat yang bersifat diskriminatif dan memberatkan masyarakat hukum adat, dikhawatirkan kebijakan tersebut akan semakin memundurkan eksistensi pengakuan formil dari masyarakat hukum adat.
Betapa sulit jalan yang harus ditempuh masyarakat hukum adat agar hak-haknya dapat diakui oleh negara. Alasan politis dan alasan ekonomis disinyalir menjadi penyebab yang mengganjal mereka. Tidak sedikit wilayah adat yang peruntukannya sudah berpindah tangan, seperti sudah diberikan kepada pemegang Hak Guna Usaha (HGU) atau kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Belum lagi ditambah dengan adanya beberapa kepala daerah yang mencari keuntungan dengan keberadaan HGU dan segala macam urusan-urusan perijinan tersebut.
Lebih lanjut Sandra berpendapat jika adanya ribuan konflik sengketa lahan masyarakat hukum adat terjadi karena tidak adanya pengakuan wilayah dari negara, administrasi yang menyulitkan, dan upaya penyelesaian konflik yang lama tidak pernah cukup serius. “Penunjukan kawasan hutan tidak ditindaklanjuti dengan penataan data, bagi sebagian orang hal ini merupakan bentuk perampasan tanah oleh negara secara sistematis dan kekeliruan yang sudah banyak terjadi ini harus kita koreksi bersama,” ucapnya.
Pada akhir diskusi Sandra menyampaikan kepada seluruh Tim Penelitian Bidang Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI jika ajakan wawancara ini menjadi satu proses belajar. Sandra menawarkan jika ada kebutuhan data atau jika perlu diadakan pertemuan selanjutnya, Sandra bersedia memenuhi kebutuhan para peneliti Setjen DPR RI.
Penulis: Andri Ratih
Editor: Hari Reswanto
Tidak hanya itu, Sandra pun mengungkapkan jika istilah masyarakat hukum adat diakui dalam konstitusi dan tercantum secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 6 ayat (1) dan (2). Ada pula yang menggunakan istilah masyarakat adat, misal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang berpendapat jika tidak semua masyarakat adat memiliki hukum, namun mereka memiliki adat yang secara turun temurun dijalankan sehingga dikhawatirkan jika menggunakan istilah masyarakat hukum adat maka hanya masyarakat adat yang memiliki hukum yang akan dianggap.
Pada kesempatan itu Sandra menegaskan jika yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat juga termasuk masyarakat adat sesuai dengan inquiry nasional yang pernah dibuat oleh Komnas HAM pada 2014-2015. “Komnas HAM tidak sedang meneliti tentang masyarakat adat saat ini, namun kami sepakat menggunakan istilah masyarakat hukum adat karena istilah itu adalah istilah yang sah menurut konstitusi dan undang-undang HAM,” ucap Sandra lebih lanjut.
Peneliti Bidang Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI Novianto Hantoro mempertanyakan istilah indigenous people yang digunakan di level internasional, apakah istilah tersebut dapat disamakan dengan istilah masyarakat hukum adat. Menanggapi pertanyaan tersebut Sandra menjelaskan jika banyak sekali berbagai definisi tentang indigenous people, tetapi Sandra menekankan jika yang disebut sebagai indigenous people harus memenuhi beberapa unsur seperti yang diungkapkan oleh seorang sosiolog sekaligus antropolog Rodolfo Stavenhagen. “Indigenous people memiliki hukum yang disebut dengan hukum adat, kemudian mereka memiliki wilayah adatnya, mereka punya satu tradisi yang dirawat keberlanjutannya secara turun temurun. Hal itu semua sangat sama dengan masyarakat hukum adat,” jelas Sandra.
Santi Dwi Kartika sebagai ketua penelitian juga mempertanyakan kepada Sandra terkait hak-hak dasar yang menjadi hak masyarakat hukum adat. Sandra menjelaskan jika masyarakat hukum adat memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya, hanya saja masyarakat hukum adat memiliki kekhususan tersendiri. Sandra mencontohkan kalau masyarakat memiliki hak atas tanah, maka masyarakat hukum adat pun juga memilikinya namun konsepnya berbeda dengan hak komunalnya. Perlakuannya di mata hukum juga seharusnya sama, hak mereka wajib diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara.
Sayangnya, berdasarkan penelitian Komnas HAM dalam inquiry nasional, mayoritas masyarakat hukum adat di Indonesia belum memperoleh kembali tanah-tanahnya. Ada syarat administratif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti diwajibkan adanya peraturan daerah atau produk hukum daerah laiinya yang justru menjadi kendala untuk adanya pengembalian tanah-tanah tersebut. “Begitu banyak masyarakat hukum adat, begitu luas kawasan hutan dan banyaknya tumpang tindih antara tanah adat dan tanah negara menyebabkan sampai saat ini baru sekitar 30.000 hektar yang dikembalikan dan diakui sebagai hutan adat. Bayangkan, itu hanya sedikit dari target 4.500.000 hektar,” ungkap Sandra.
Agus – sapaan akrab Agus Suntoro – mengamini ucapan Sandra. Menurutnya syarat administratif tersebut justru menjadi kendala dalam pemenuhan kewajiban negara. Perlu adanya peninjauan kembali atas pengakuan bersyarat yang bersifat diskriminatif dan memberatkan masyarakat hukum adat, dikhawatirkan kebijakan tersebut akan semakin memundurkan eksistensi pengakuan formil dari masyarakat hukum adat.
Betapa sulit jalan yang harus ditempuh masyarakat hukum adat agar hak-haknya dapat diakui oleh negara. Alasan politis dan alasan ekonomis disinyalir menjadi penyebab yang mengganjal mereka. Tidak sedikit wilayah adat yang peruntukannya sudah berpindah tangan, seperti sudah diberikan kepada pemegang Hak Guna Usaha (HGU) atau kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Belum lagi ditambah dengan adanya beberapa kepala daerah yang mencari keuntungan dengan keberadaan HGU dan segala macam urusan-urusan perijinan tersebut.
Lebih lanjut Sandra berpendapat jika adanya ribuan konflik sengketa lahan masyarakat hukum adat terjadi karena tidak adanya pengakuan wilayah dari negara, administrasi yang menyulitkan, dan upaya penyelesaian konflik yang lama tidak pernah cukup serius. “Penunjukan kawasan hutan tidak ditindaklanjuti dengan penataan data, bagi sebagian orang hal ini merupakan bentuk perampasan tanah oleh negara secara sistematis dan kekeliruan yang sudah banyak terjadi ini harus kita koreksi bersama,” ucapnya.
Pada akhir diskusi Sandra menyampaikan kepada seluruh Tim Penelitian Bidang Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI jika ajakan wawancara ini menjadi satu proses belajar. Sandra menawarkan jika ada kebutuhan data atau jika perlu diadakan pertemuan selanjutnya, Sandra bersedia memenuhi kebutuhan para peneliti Setjen DPR RI.
Penulis: Andri Ratih
Editor: Hari Reswanto
Short link