Kabar Latuharhary – Pasca pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Pulhukam) Mahfud MD menyematkan status teroris terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, banyak bermunculan diskusi dan perspektif terkait hal tersebut. Tidak sedikit yang beranggapan jika keputusan yang diambil pemerintah tidak tepat karena justru akan memperkeruh keadaan di Papua.
Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara atau yang akrab disapa Beka menyampaikan ketidaksetujuannya. “Sikap Komnas HAM sudah jelas dari awal sejak pemerintah menyematkan status teroris kepada KKB di Papua, Komnas HAM tidak setuju. Kita harus berhati-hati betul dalam penyematan tersebut karena harus memperhitungkan dampak nasional dan internasionalnya,” kata Beka. Pernyataan tersebut Beka sampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi online bertajuk “Mengkaji Penyematan Label Teroris kepada KKB Papua: Solusi atau Masalah” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melalui zoom meeting pada Jumat, 7 Mei 2021.
Menurut Beka, langkah yang dipilih pemerintah tidak sejalan dengan komitmen Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) banyak berbicara terkait HAM. Indonesia pun telah banyak meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, bahkan tahun ini Indonesia selama lima kali berturut-turut terpilih sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan Beka menyinggung jika pemerintah saat ini lebih mengutamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi sehingga tidak melihat entitas masyarakat adat di Papua. “Tata kelola di Papua masih jauh dari harapan, harus ada evaluasi bagaimana pemerintah mendekati masyarakat di Papua,” ucap Beka.
Pada kesempatan ini Beka menyampaikan beberapa rekomendasi dari Komnas HAM. Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan dialog damai sebagai strategi penyelesaian siklus kekerasan dan sebagai pembuka jalan solusi untuk isu-isu ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat, masyarakat adat dan isu lainnya yang ada di Papua. Pemerintah juga harus memastikan proses penegakan hukum di Papua berjalan secara adil dan transparan kepada semua pihak yang diduga bersalah, baik dari terduga pelaku kekerasan dari KKB atau pun dari aparat keamanan.
Irine Gayatri narasumber dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengamini pernyataan Beka. Menurutnya selain penyematan KKB sebagai teroris tidak tepat, pengumuman penyematan tersebut hanya akan meningkatkan eskalasi konflik. Padahal pendekatan non militeristik yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan di Papua. “Tidak mungkin dialog dilakukan jika situasi ketegangan seperti ini masih terus berlangsung,” ujarnya.
Penyematan label teroris untuk KKB di Papua tidak hanya berdampak pada masyarakat di Papua namun juga berimplikasi kepada masyarakat Papua secara luas yang berada di luar Papua, mereka bisa menjadi korban diskriminasi akibat pelabelan tersebut. Direktur Imparsial Gufron Mabruri yang turut hadir dalam diskusi ini menegaskan jika perlu ada komitmen politik dari Jokowi dan jajarannya terkait janji-janjinya, terutama terkait penyelesaian kasus-kasus di Papua yang harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Permasalahan di Papua akan sulit terurai apabila konflik dan akar masalahnya belum diatasi. Apalagi ditambah pemerintah yang tidak melakukan pendekatan dialogis secara damai. (Andri Ratih/Ibn)
Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara atau yang akrab disapa Beka menyampaikan ketidaksetujuannya. “Sikap Komnas HAM sudah jelas dari awal sejak pemerintah menyematkan status teroris kepada KKB di Papua, Komnas HAM tidak setuju. Kita harus berhati-hati betul dalam penyematan tersebut karena harus memperhitungkan dampak nasional dan internasionalnya,” kata Beka. Pernyataan tersebut Beka sampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi online bertajuk “Mengkaji Penyematan Label Teroris kepada KKB Papua: Solusi atau Masalah” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melalui zoom meeting pada Jumat, 7 Mei 2021.
Menurut Beka, langkah yang dipilih pemerintah tidak sejalan dengan komitmen Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) banyak berbicara terkait HAM. Indonesia pun telah banyak meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, bahkan tahun ini Indonesia selama lima kali berturut-turut terpilih sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan Beka menyinggung jika pemerintah saat ini lebih mengutamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi sehingga tidak melihat entitas masyarakat adat di Papua. “Tata kelola di Papua masih jauh dari harapan, harus ada evaluasi bagaimana pemerintah mendekati masyarakat di Papua,” ucap Beka.
Pada kesempatan ini Beka menyampaikan beberapa rekomendasi dari Komnas HAM. Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan dialog damai sebagai strategi penyelesaian siklus kekerasan dan sebagai pembuka jalan solusi untuk isu-isu ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat, masyarakat adat dan isu lainnya yang ada di Papua. Pemerintah juga harus memastikan proses penegakan hukum di Papua berjalan secara adil dan transparan kepada semua pihak yang diduga bersalah, baik dari terduga pelaku kekerasan dari KKB atau pun dari aparat keamanan.
Irine Gayatri narasumber dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengamini pernyataan Beka. Menurutnya selain penyematan KKB sebagai teroris tidak tepat, pengumuman penyematan tersebut hanya akan meningkatkan eskalasi konflik. Padahal pendekatan non militeristik yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan di Papua. “Tidak mungkin dialog dilakukan jika situasi ketegangan seperti ini masih terus berlangsung,” ujarnya.
Penyematan label teroris untuk KKB di Papua tidak hanya berdampak pada masyarakat di Papua namun juga berimplikasi kepada masyarakat Papua secara luas yang berada di luar Papua, mereka bisa menjadi korban diskriminasi akibat pelabelan tersebut. Direktur Imparsial Gufron Mabruri yang turut hadir dalam diskusi ini menegaskan jika perlu ada komitmen politik dari Jokowi dan jajarannya terkait janji-janjinya, terutama terkait penyelesaian kasus-kasus di Papua yang harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Permasalahan di Papua akan sulit terurai apabila konflik dan akar masalahnya belum diatasi. Apalagi ditambah pemerintah yang tidak melakukan pendekatan dialogis secara damai. (Andri Ratih/Ibn)
Short link