Kabar Latuharhary – Pandemi Covid-19 memaksa sebagian besar orang untuk hidup dalam pembatasan-pembatasan mobilitas secara fisik dan menggiring mereka untuk memasuki dunia digital. Dunia digital dialihfungsikan selayaknya dunia nyata sehingga aktivitas pendidikan, pekerjaan, jual beli, mengemukakan pendapat dan ekspresi dengan mudah dilakukan secara daring. Kemudahan-kemudahan yang didapat melalui dunia digital tersebut tidak serta merta membuat masyarakat aman dan nyaman tapi bisa membuat mereka takut mengungkapkan pendapat dan ekspresinya melalui internet.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan HAM Komnas HAM Mohammad Choirul Anam yang biasa disapa Anam mengungkapkan hal tersebut saat menjadi narasumber diskusi bertajuk “Mengatasi Penyusutan Ruang Sipil Akibat Pandemi dan Ancaman Demokrasi” yang diselenggarakan oleh SAFEnet dan Goethe Institut. “Sebanyak 36 persen masyarakat Indonesia merasa tidak bebas dan tidak aman dalam menyampaikan pendapat dan ekspresinya di media sosial,” ucap Anam melalui zoom webinar pada Jumat, 30 April 2021.
Hasil tersebut didapatkan berdasarkan survei terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi yang telah dilakukan oleh Komnas HAM bersama dengan Litbang Kompas di 34 provinsi di Indonesia pada 2020. Menurut Anam, salah satu penyebabnya adalah adanya serangan besar-besaran secara digital yang mengintimidasi atau berbentuk peretasan, doxing, hoax terhadap media, organisasi dan individu yang bersuara kritis di tengah pandemi.
Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya menyediakan ruang-ruang demokrasi bagi rakyatnya. Namun menyuarakan pendapat dan ekspresinya di muka publik dilarang dengan alasan Covid-19. Sedangkan ekspresi melalui media sosial dibayang-bayangi serangan-serangan digital bahkan ancaman dikriminalisasi. “Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan indikator sejauh mana proses demokrasi berjalan di suatu negara. Rakyat perlu diberi ruang untuk dapat ikut serta dalam pengawasan dengan memberikan kritik dan saran untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang baik,” ucap Anam lebih lanjut.
Herlambang Wiratraman, Pendiri Serikat Pengajar HAM (Sepaham) yang turut hadir sebagai narasumber berpendapat jika serangan digital yang sering terjadi di masa pandemi disebabkan berkembangnya oligarki dan adanya sistem politik kartel pada pemerintahan saat ini. “Sistem politik kartel ditambah kuasa oligarki yang cukup dominan menyebabkan begitu banyak penyingkiran hak-hak masyarakat, menguras secara serakah sumber daya alam dan perusakan lingkungan dalam skala besar, serta penyuburan korupsi yang dirancang melalui kebijakan-kebijakan yang sengaja dibuat,” ujarnya.
Adanya penyusutan ruang sipil selama pandemi Covid-19 perlu menjadi perhatian bersama agar tidak mencederai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Perlu ada tindakan konkret untuk mendorong demokratisasi dengan mendelegitimasi kekuasaan yang diliputi oligarki dan politik kartel. “Kita harus melawan impunitas-impunitas yang selama ini terjadi. Kasus peretasan, doxing, intimidasi, teror bahkan kriminalisasi yang menyerang para aktivis harus diusut tuntas dengan proses yang dilakukan secara transparan,” ujar Herlambang.
Diskusi juga mengungkap peran penting dari platform-platform digital. Platform digital diharapkan dapat memperkuat keamanan penggunanya dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga masyarakat dapat menikmati kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia digital. (Andri Ratih/Ibn)
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan HAM Komnas HAM Mohammad Choirul Anam yang biasa disapa Anam mengungkapkan hal tersebut saat menjadi narasumber diskusi bertajuk “Mengatasi Penyusutan Ruang Sipil Akibat Pandemi dan Ancaman Demokrasi” yang diselenggarakan oleh SAFEnet dan Goethe Institut. “Sebanyak 36 persen masyarakat Indonesia merasa tidak bebas dan tidak aman dalam menyampaikan pendapat dan ekspresinya di media sosial,” ucap Anam melalui zoom webinar pada Jumat, 30 April 2021.
Hasil tersebut didapatkan berdasarkan survei terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi yang telah dilakukan oleh Komnas HAM bersama dengan Litbang Kompas di 34 provinsi di Indonesia pada 2020. Menurut Anam, salah satu penyebabnya adalah adanya serangan besar-besaran secara digital yang mengintimidasi atau berbentuk peretasan, doxing, hoax terhadap media, organisasi dan individu yang bersuara kritis di tengah pandemi.
Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya menyediakan ruang-ruang demokrasi bagi rakyatnya. Namun menyuarakan pendapat dan ekspresinya di muka publik dilarang dengan alasan Covid-19. Sedangkan ekspresi melalui media sosial dibayang-bayangi serangan-serangan digital bahkan ancaman dikriminalisasi. “Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan indikator sejauh mana proses demokrasi berjalan di suatu negara. Rakyat perlu diberi ruang untuk dapat ikut serta dalam pengawasan dengan memberikan kritik dan saran untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang baik,” ucap Anam lebih lanjut.
Herlambang Wiratraman, Pendiri Serikat Pengajar HAM (Sepaham) yang turut hadir sebagai narasumber berpendapat jika serangan digital yang sering terjadi di masa pandemi disebabkan berkembangnya oligarki dan adanya sistem politik kartel pada pemerintahan saat ini. “Sistem politik kartel ditambah kuasa oligarki yang cukup dominan menyebabkan begitu banyak penyingkiran hak-hak masyarakat, menguras secara serakah sumber daya alam dan perusakan lingkungan dalam skala besar, serta penyuburan korupsi yang dirancang melalui kebijakan-kebijakan yang sengaja dibuat,” ujarnya.
Adanya penyusutan ruang sipil selama pandemi Covid-19 perlu menjadi perhatian bersama agar tidak mencederai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Perlu ada tindakan konkret untuk mendorong demokratisasi dengan mendelegitimasi kekuasaan yang diliputi oligarki dan politik kartel. “Kita harus melawan impunitas-impunitas yang selama ini terjadi. Kasus peretasan, doxing, intimidasi, teror bahkan kriminalisasi yang menyerang para aktivis harus diusut tuntas dengan proses yang dilakukan secara transparan,” ujar Herlambang.
Diskusi juga mengungkap peran penting dari platform-platform digital. Platform digital diharapkan dapat memperkuat keamanan penggunanya dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga masyarakat dapat menikmati kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia digital. (Andri Ratih/Ibn)
Short link